Jumat, 13 April 2012

Bidah Menurut Nabi dan Sahabat



Rabu, 19 Jumadil Ula 1433 H | 11 April 2012 23:06:46 WIB
Oleh : Imam Tuhfatus Sulfa*

Para ulama membuat definisi tentang bidah dari aspek etimologinya. Imam Muhammad Abu Bakar Abdus menuturkan, bidah adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Menurut Abu Husain Ahmad bin Faris (w. 393 H ), adalah memulai dan membuat suatu perkara tanpa ada contoh.

Dan menurut Abu Abd Rahman al-Khlmil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H ) “bidah adalah mengadakan suatu perkara yang sebelumnya tidak di buat, tidak disebut dan tidak dikenal”

Begitulah para ulama mendefinisikan bidah secara bahasa. Dari definisi-definisi itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa bidah secara umum dalam arti bahasa adalah suatu yang tak pernah ada sebelumnya.

Istilah bidah dengan artian seperti ini juga digunakan dalam al-Qur'an sebagaimana firmannya: “Allah Pencipta langit dan bumi” (QS Al-Baqarah [02]:117)

Maksud ayat ini adalah Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, Allahlah yang menjadikan langit dan bumi pertama kali.

Dalam ayat lain juga disebutkan: “Katakanlah: “Aku bukanlah rasul pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak  pula terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan” (QS Al-Ahqaaf [46]: 09)

Nabi Muhammad memang bukan nabi yang pertama, sebelum beliau banyak nabi-nabi yang juga di utus oleh Allah. Dengan artian beliau bukanlah manusia pertama yang menjadi utusan Allah.

Apabila ditilik dari sisi terminologi agama, maka banyak sekali ulama yang mendefinisikannya. Salah satunya adalah al-Imam Izzuddin bin Abd Salam dalam kitabnyya, Qawa'id al-Ahkam wa maslaha wa al-Anam, Juz 2 hlm, 131-134 mendefinisikan bidah sebagai berikut:

أَاْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ

 “Bidah adalah amaliah ( keagamaan ) yang tak dikenal pada zaman Nabi saw"

Dari definisi bidah ini bias disimpulkan bahwa tak ada kata bidah dalam urusan duniawi sebagaimana Hadis Nabi riwayat Imam Muslim dari Imam Malik bahwa:



أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيًاكُمْ

“Kalian lebih lebih tahu tentang urusan duni kalian”

Hadis ini secara eksplisit memberikan klarifikasi pada kita bahwa pekerjaan yang berkaitan dengan dunia menjadi hak setiap individu. Setiap orang mempunyai kebebasan dalam melakukan suatu yang ia inginkan selagi tidak terjadi dikotomi dengan hukum syariat.



Semua Bidah Sesat ?

Semua bidah sesat. Itu pandangan kelompok Wahabi. Bagi kalangan awam, maka sudah barang tentu statemen ini gampang untuk diterima karena memang mereka masih belum bisa membedakan antara dalil-dalil agama yang benar dan yang salah.



أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّالْأُمُوْرَ مُحْدثاتَهَا وكُلُّ محدثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat bidah, dan setiap perbuatan baru itu adalah bidah dan semua bidah itu sesat ” (HR. Ibn Najah)



Hadis inilah yang sering dibuat senjata ampuh oleh golongan Wahabi dalam membidahkan semua amalan yang tak ada di zaman Nabi dan menganggapnya sesat.

Secara lahir Hadis di atas menggunakan kata “كل” yang berarti “semua” dalam membidahkan suatu yang baru.  Tapi yang dikehendaki dari lafal “كل”  ini bukanlah arti aslinya, bahkan yang dikehendaki adalah makna “sebagian”. Sebab tidak semua kata "كل" itu menunjukkan arti "semua" seperti firman Allah dalam al-Qur'an:

وَجَعَلْناَ مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيِّ أَفَلاَ يُؤْ مِنُوْنَ

“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS Al-Anbiyaa’ [21]:30)



Dalam ayat ini Allah menggunakan kata “كل”, yang berarti umum pada segala sesuatu apapun, tapi dalam ayat yang lain Allah juga berfirman: “Dan dia menciptakan jin dari nyala api” (QS Ar-Rahman [55]:15)



Dengan demikian sangat jelas, bahwa lafal "كل"  dalam ayat sebelumnya bukanlah makna asal dari lafal "كل" itu sendiri, melainkan bermakna sebagaian.

Jadi yang dimaksud dari lafal “كل” dalam Hadis di atas bukanlah makna “semua“. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama terkemuka, diantaranya adalah Imam Nawawi ( W. 676 H ), seorang ulama pakar Hadis dari Syiria, beliau berkata, perkataan Rasul "وكل بدعة ضلالة" ini adalah kalimat umum yang ditakhsîsi dan yang dimaksud Hadis ini adalah bidah secara umum.

Jadi sangat jelas bahwa asumsi keliru ini dari mereka yang mengartikan bahwa yang dimaksud kata “كل” dalam Hadis di atas adalah makna aslinya merupakan kesalahan yang sangat fatal dan bertentangan dengan pendapat para ulama terkemuka.



Klasifikasi Bidah

Ulama Sunni membagi bidah pada dua bagian. Yaitu, bidah baik dan bidah sesat. Klasifikasi bidah ini tidak bukannya tanpa dasar yang hanya berlandaskan pada pemikiran spekulatif mereka untuk mengantisipasi statemen kaum Wahabi. Tapi justru berlandaskan hadis Nabi dan atsar as-Shahabah.

Istilah bidah hasanah sebenarnya tidak hanya dikenal akhir-akhir ini khususnya setelah munculnya paham yang menyesatkan semua bidah secara umum. Bahkan istilah ini secara implisit telah ada pada masa kepemerintahan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Pada suatu malam di bulan Ramadan ia mendatangi salah satu masjid, ternyata setiba disana, orang-orang melaksanakan salat tarawih dengan sendiri-sendiri dan ada yang berjamaah. Lantas beliau berkata: “Saya berpendapat,  apabila orang-orang ini dipersatukan pada satu orang imam, niscaya lebih baik”. Lalu  beliau pun menyatukan orang-orang pada satu imam yang bernama Ubai bin Ka'ab. kemudian di suatu malam kami datang lagi ke Masjid itu lalu kami melihat orang-orang salat berjemaah di belakang imam. Melihat hal itu Sayyidina Umar berkata,  “Ini adalah bidah yang baik”

Berdasarkan perkataan Sayyidina Umar di atas, maka dapat kita ketahui bahwa salat tarawih secara berjemaah dalam satu Imam adalah perbuatan bidah yang ada sejak masa Sayyidina Umar yang dicetuskan oleh beliau sendiri. Dan biliau adalah al-salah satu Khulafa ar-Rasyidun yang harus kita ikuti prilakunya sebagaimana sabda Nabi : “Kalian harus berpegang pada sunahku dan sunah al-Khulafa ar-Rasyidun yang mendapat hidayah”

Istilah bidah dhalâlah (sesat) sebenaranya secara implisit telah oleh Nabi dalam sabdanya ketika menjawab pertanyaan Bilal. “Apa yang harus saya ketahui wahai Rasulullah? Tanya bilal ketika Nabi mengucapkan “Ketahuilah!”. Kemudian Rasulullah menjawab: “Barang siapa yang menghidupkan sunahku yang sudah dimatikan orang yang setelah aku tiada,. Maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya.  Tidak akan dikurangi sedikitpun dari pahala mereka itu. Dan barang siapa yang  membuat bidah dhâlalah (sesat) yang tidak diridai Allah dan Rasul-Nya maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya. Tiada dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka”. (HR At-Tirmidzi)

Dalam Hadis ini Rasul menjelaskan bidah yang tidak di ridai Allah dan Rasul-Nya masih beiau sifati dengan kata “dhâlalah” secara implisit lafal ini mengisyaratkan bahwa tidaklah semua bidah itu sesat. Karena kalau memang semua bidah adalah sesat dengan berlandaskan Hadis riwayat Ibn Majah di atas tentu Nabi tidak akan menyifati lafal bidah dengan kata “dhâlalah”. Tapi menyukupkan dengan kata bidah saja.

Jadi, sangatlah jelas bahwa tidak semua sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Nabi termasuk bidah sesat. Wallahu a'lam !



*Penulis adalah santri Sidogiri asal Probolinggo, Berdomisili di L-O4



Referensi

Muhammad Abu Bakar Abd Qadir ar-Razi, Mukhtar as-Shihha,  hlm, 43

Abu al-Husain Ahmad bin Faris Mu'jamul Maqayis fi Lughat,  hlm 119

Abu Abd Rahman al-Khlmil bin Ahmad al-Farahidi al-'Ain juz 2, hlm 54

Izzuddin bin Abd Salam Qawaidul ahkam fi mashlmih al-Anam juz, 2 hlm,133-134.

Abu zakariya yahya bin syaraf an-Nawawi Sharhu Shahih Muslim juz, 15 hlm 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar