Jumat, 20 April 2012

HUKUM TALQIN



TALQIN

  1. Definisi Talqin:
    Talqin dari bahasa arab laqqana-yulaqqinu yang artinya menuntun orang untuk mengikuti kata-kata yang diucapkan.
    2. Hukum talqin di atas kuburan
    Kita sebagai seorang muslim disunnahkan untuk mentalqin orang yang akan meninggalkan dunia atau sedang sekarat. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW: Talqinlah mautakum (orang-orang yang akan mati dengan kalimah La ilaha illah). Talqin ini untuk orang yang masih hidup dan menjelang mati.
    Sedangkan mengenai talqin untuk orang yang sudah mati atau di atas kuburan yang biasanya dilakukan setelah dikubur, dalam hal ini ada tiga pendapat.
    Pertama: Sunnah menurut sebagian ulama hambali dan madzhab syafii
    Dalilnya adalah: Diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: Jika ada di antara kalian yang meninggal dunia, kemudian kuburannya di ratakan dengan tanah, maka hendaknya ada di antara kalian yang berdiri di dekat kepalanya dan berkata: Ya fulan bin fulanah, sesungguhnya dia mendengar tetapi tidak bisa menjawab. Kemudian hendaknya dia mengatakan: Ya fulan bin fulanah untuk yang kedua kalinya. Kemudian dia akan duduk. Kemudian hendaknya dia mengatakan: Ya fulan bin fulanah, maka dia akan berkata: Tunjukilah kami semoga kamu mendapat rahmat Allah. Tetapi kamu tidak mendengarnya. Sebutlah pedoman kamu keluar dari dunia yaitu
 شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما.

Maka Malaikat Munkar dan Nakir akan terlambat dan salah seorang dari mereka berkata kepada yang lain: pergilah tidak ada yang menyebabkan kita duduk di sisi orang ini karena hujjahnya sudah ditalqin, maka Allah menjadi hujjahnya bagi mereka berdua. Kemudian ada seorang sahabat yang bertanya: Bagaimana kalau seandainya nama ibunya tidak dikenal. Rasul menjawab: Nasabkan dia kepada Hawwa?. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Syahin dalam kitab Dzikrul Maut dengan sanadnya. Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani mengalamatkan hadits ini kepada Thabrani.
Ibnu Taimiyyah berkata: Talqin yang disebutkan tersebut telah di nukil dari beberapa sahabat, bahkan mereka memerintahkannya seperti Abu Umamah al-Bahili dan lainnya.
Ada juga riwayat hadits lain dari Rasulullah namun hadits ini tidak shahih, dan tidak banyak sahabat yang melakukannya.

Kedua: Makruh, karena tidak ada sahabat yang melakukannya, ini pendapat madzhab Maliki.

Ketiga: Boleh. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyyah, kata beliau; Menurut pendapat yang paling benar menurut saya adalah boleh bukan sunnah. Pendapat ini juga didukung oleh penduduk Syam bahkan mereka senantiasa melakukan talqin ini sejak abad pertama dan zaman setelahnya.
Hukum talqin, yaitu membaca beberapa bacaan yang artinya "Wahai fulan, bacalah la'ilaha illallaah, Asyhadu an laailaaha illallahu 3x . Katakan bahwa tuhanku Allah, Nabiku Muhammad dan agamaku Islam" atau ungkapan-ungkapan sejenis.

Diriwayatkan, talqin dilakukan oleh orang beberapa generasi Tabi'ien, seperti Rasyid bin Sa'd, Dhamrah bin Hubaib dan Hakim bin Umairah. Mereka melandasakan talqin kepada hadist Abi Umamah: Rasuullah bresabda: "Apabila salah seorang dari kalian meninggal dunia dan kalian telah mengubur dia, maka berdirilah salah satu dari kalian di atas kepala kuburan dan bacalah...... (dan seterusnya)". (H.R. Ibnu Shaheen dalam kitabnya "Kitabul Maut" dengan sanadnya).
Imam Nawawi (dari mazhab Syafi'iyah) mengatakan, meskipun sanad hadis tersebut lemah, tapi bisa dipakai. Ulama ahli hadis melihat bahwa menggunakan hadis lemah untuk mengajak kepada pekerjaan yang dianjurkan agama hukumnya boleh, apalagi hadis tersebut diperkuat dengan hadis Amr bin Ash yang menyatakan "Maka berdoa'lah (untuk mayit) agar diberi ketabahan" (H.R. Bukhari & Muslim). Masyarakat Syam (Siria) diriwayatkan menjalankan talqin sejak dulu kala sampai sekarang.

Perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, sbb:
  1. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa talqin hukumnya sunnah dengan landasan hadis di atas (Majmu' J : 5 h : 303).
  2. Ulama Hanbaliyah menyatakan sunnah juga (Mughni, J:2 h : 377).
  3. Ulama Malikiyah menyatakan makruh, karena sesuai dengan disiplin mazhab Malikiyah yag memperketat penggunaan hadis lemah.
  4. Tidak ditemukan masalah ini dalam kitab-kitab Hanafiyah.

Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar