Jumat, 13 April 2012

Salafi Wahabi Bisakah Berkembang di Bumi Nusantara Jika Masyarakatnya Masih Hindu Budha?



Para Ulama Pendakwah Islam di Bumi Nusantara, Mereka Bukan Salafi Wahabi
Salafi Wahabi mungkin perlu kita tanya: “Bisakah Salafi Wahabi masuk dan berkembang di bumi Nusantara seandainya sekarang ini masyarakatnya masih memeluk agama Hindu Budha?” Pertanyaan seperti ini sungguh tidak mengada-ada, sebab track record dakwah Salafi Wahabi sejak dulu hingga kini selalu  menjadi benalu bagi jama’ah kaum muslimin di mana saja di seluruh dunia. Kita tidak pernah dengar keberhasilan dakwah Salafi Wahabi di tengah-tengah kaum non Islam, lalu kaum non Islam berbondong-bondong memeluk agama Islam ala Salafy Wahabi. Pernahkan ada di suatu negeri atau wilayah keberhasilan Salafi wahabi dalam dakwah  mengajak masyarakat beragama non Islam menjadi pemeluk Islam?
Justru yang sering kita dengar adalah dakwah  Salafi Wahabi selalu berseru lantang  memusyrik-musyrikkan orang-orang yang sudah jelas-jelas beragama Islam. Masyarakat beragama Islam yang sedang berziarah kubur mengikuti Sunnah Nabi Saw disebut-sebut oleh Salafi Wahabi sebagai Penyembah Kuburan, na’udzu billah min dzaalik! Salafi Wahabi mengaku sebagai satu-satunya pengikut Sunnah Nabi tapi Sinis dan benci dengan Ziarah Kubur, padahal Ziarah Kubur adalah Sunnah Nabi Saw.  
Salafi Wahabi tidak punya methode berdakwah di tengah Ummat non Islam, jadi kesimpulannya mereka tidak akan sanggup berdakwah di tengah masyarakat non Islam.Missi dan visi Salafi Wahabi berdakwah bukan mengajak orang-orang non Islam masuk Islam, tetapi missinya adalah membuat onar dengan menebar isu-isu bid’ah, isu-isu kekafiran dan isu-isu  kemusyrikan di tengah Ummat Islam sendiri. Nah, kira-kira siapa gerangan dalang di balik layar dakwah Salafi Wahabi?
Demikianlah sekelumit tentang Salafi Wahabi sebagai pengantar untuk mengikuti uraian artikel yang kritis, dinamis dan retoris tapi logis berikut ini ….

Bagaimana jadinya jika wali sanga dari kalangan salafi wahhabi?

Bagaimana jika seandainya bangsa Indonesia di awal masuknya Islam, para da’inya bukan dari kalangan wali sanga, melainkan dari kalangan salafi wahhabi? Maka niscaya sedikit sekali orang yang masuk Islam. Atau Islam akan dikenal ekstrem, radikal atau mungkin Islam tak akan dikenal hingga saat ini oleh bangsa Indonesia. Kenapa?
Karena sudah pasti salafi wahhabi tidak akan mentolerir budaya apa saja yang ada dan berkembang saat itu! Mereka tidak akan bisa menghargai budaya bangsa bahkan akan memaksa membumi-hanguskannya.
Sangat berbeda dengan manhaj suci wali sanga dalam berdakwah di Indonesia ini. Mereka lebih mengedepankan nilai-nilai santun dan penuh etika menghadapi berbagai macam karakter dan budaya yang ada bagi bangsa Indonesia.
Sebagaimana kearifan dan kecerdikan wali sanga yang dalam dakwahnya bisa memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah, sehingga mampu membumikan ajaran-ajarannya di hamparan bumi Nusantara sampai dewasa ini.
Renungkanlah hadits-hadits berikut ini :
- Nabi Saw bersabda :

انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاك

“Sesunngguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia”. (HR. Baihaqi)

Dalam hadits tersebut Nabi Saw menegaskan untuk menyempurnakan akhlak karimah yang juga berarti budaya, tradisi dan adat masyarakat. Bukan malah melenyapkannya!
- Nabi Saw juga bersabda :

اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة وخالق الناس بخلق حسن

“Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada, susullah kejelakan dengan kebajikan yang biasa meleburnya dan berperilakulah kepada orang lain dengan perilaku yang baik.” (HR. Turmudzi dan Hakim)
Apakah yang dimaksud dengan perilaku yang baik? Sayyidina Ali bin Abi Tholib saat ditanya tentang maksud perilaku yang baik dalam hadits tersebut, belai menjawab :

هو موافقة الناس في كل شيء ماعداامعاصي

“(Makasud perilaku yang baik tersebut) adalah beradaptasi dengan masyarakat dalam setiap hal selama bukan maksyia “.
Kemudian populer menjadi peribahasa :

لولا الوئام لهلك الانام

“Andaikan tidak ada adaptasi (dalam pergaulan) niscaya manusia akan sirna!”.
Maka jelas, bahwa ajaran Islam mesti disampaikan dengan santun dan menghargai budaya. Nilai-nilai toleransi, adaptasi dan pembauran pada budaya dengan sendirinya akan membuat masyarakat mencintainya. Namun perlu diingat pesan Sayyidina Ali:  ”Maa ‘adal ma’ashi.” yaitu budaya atau tradisi yang bukan maksyiat. Artinya budaya atau tradisi yang bisa ditoleransi dan dimaklumi adalah yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia sendiri dan tidak bersebrangan dengan nilai-nilai agama.
Inilah manhaj dakwah nubuwwah secara estafet telah diterapkan dan diteruskan dari zaman ke zaman oleh para ulama kita hingga zaman wali sanga dan akan terus dialanjut oleh para ulama Ahlus sunnah waljama’ah hingga akhir zaman. Dakwah kasih sayang, santun, penuh rahmat yang menjadi satu-satunya tujuan kerasulan nabi Muhammad Saw. Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Swt dalam Al-Quran :

وما ارسلناك الا رحمةللعالمين

” Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam “. (QS. Al-Anbiya : 107)
Inilah manhaj nubuwwah, manhaj salaf Ahlus sunnah waljama’ah yang telah diterapkan oleh mayoritas ulama dan umat muslim sedunia. Dan inilah janji Nabi Saw :

لايجمع امتي على ضلالة ابدا ويدالله على الجماعة

“Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan selamanya. Sememntara itu kekuasaan Allah Swt berada pada Jama’ah”.
Maka kita tanyakan kepada salafi wahhabi, manhaj siapakah yang kalian ikuti?
Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran :

ومن يشاقق الرسول من بعد ماتبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ماتولى ونصله جهنم وسائت مصيرا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam. Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali “. (QS. An-Nisa : 115)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar