Sabtu, 14 April 2012

Ittiba’ Rasul : Penerapan Salah Kaprah Salafy yang Bisa Menyesatkan Ummat Islam



ISTILAH ITTIBA’ ADALAH BID’AH SALAFI…!


Bedanya Taqlid dan Ittiba'Ittiba’ adalah menempuh jalan yang ditempuh oleh seseorang dan melakukan apa yang dilakukannya. Namun ittitiba’ dalam pemahaman salafy hanyalah terbatas pada mengikuti Al-Qur’an dan Hadits secara langsung tanpa melihat pendapat para ulama Mujtahid.
Ketahuilah bahwa mengikuti Al- Qur’an dan hadits secara langsung hanya sanggup dilakukan oleh para mujtahid muthlaq seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Karena untuk ittiba’ yang seperti itu diperlukan kemampuan untuk berijtihad. Sedangkan untuk melakukan ijtihad itu harus memenuhi syarat-syarat yang berat yang hanya dapat dipenuhi orang- orang yang sangat kuat seperti para imam madzhab. Adapun orang awam sangat sulit untuk melakukan itu. Bahkan ulama – ulama hadits sekelas ImamNawawi dan Imam ibnu Hajar Asqolani pun masih bermadzhab.
Maka mengikuti Al-Qur`an dan hadits secara langsung tidaklah wajib bagi semua orang. Bahkan ia tidak wajib bagi semua ulama.  Karena hanya mujtahid saja yang sanggup mengikuti Al-Qur`an dan hadits secara langsung. Jika ittiba’ semacam yang dimaksud salafiyyun itu wajib bagi semua orang, sedangkan tidak semua orang yang sanggup, hanya sebagian kecil saja yang sanggup, maka berapa banyak orang yang jatuh ke dalam dosa karena tidak melaksanakan kewajiban itu?
Ketahuilah bahwa ittiba’ kepada Al-Qur`an dan hadits dapat secara langsung, dan itu dapat dilakukan oleh mujtahid; dan dapat pula secara tidak langsung, yaitu dengan mengikut kepada mujtahid. Kemudian salafiyyun membedakan antara taqlid dan ittiba’ dalam pemahaman mereka. Ketahuilah bahwa dalam ushul fiqh, kita tak mengenal istilah ittiba’ , yang kita kenal adalah ijtihad dan taqlid. Istilah ittiba’  ini hanyalah istilah baru yang dibuat para salafiyyun untuk menyebut suatu keadaan di mana seseorang mengikuti pendapat seorang mujtahid dengan disertai dalil.
Pahamilah saudara-saudariku bahwa mengetahui dalil atau tidak mengetahui dalil bagi orang yang belum mencapai derajat mujtahid adalah sama. Karena dalil yang diketahuinya itu tidak dapat digunakan untuk berijtihad pula. Sedangkan orang yang tidak melakukan ijtihad, maka ia berada dalam tingkatan muqallid, yaitu orang yang taqlid. Maka jelaslah bahwa taqlid itu wajib bagi orang awam,apakah ia mengetahui dalil atau pun tidak mengetahui dalil. Sedangkan ittiba’ itu tidaklah wajib, karena ittiba’ mensyaratkan adanya pengetahuan atas dalil, dan hal ini tak semua orang dapat melakukannya.

Maka cukuplah seseorang mengikuti salah satu dari imam yang empat, karena telah diketahui bahwa imam yang empat adalah termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bukan dari golongan ahlul bid’ah.

Adapun yang dikhawatirkan itu adalah jatuhnya orang awam pada taqlid kepada ahlul bid’ah. Dan jika ittiba’  itu bukanlah mengikuti pendapat mujtahid dengan disertai dalil, melainkan mengikuti Al-Qur`an dan hadits secara langsung, maka hal ini lebih tidak sanggup lagi dilakukan oleh semua orang. Dan mewajibkan ittiba’  yang seperti ini adalah bid’ah dholalah.
Kemudian, mengikuti ulama mujtahid tidaklah dapat disamakan dengan mengikuti nenek-moyang yang tidak jelas sanad ilmunya. Maka dari itu, jika kau temui seorang ulama, maka lihatlah sanadnya. Jika kau tak mengetahui sanad ilmunya, maka telitilah ilmunya. Jika ilmunya tak sesuai dengan ulama yang sanad ilmunya bersambung hingga ke Rosul shollallohu ‘alayhi wa sallam, maka tinggalkan dia. Jika kau tetap mengikutinya, maka sama saja keadaanmu dengan mereka yang mengikuti nenek-moyang mereka yang sanad ilmunya tidak jelas.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah di turunkan Allah! Mereka menjawab, (Tidak mau!) Kami hanya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh bapak-bapak kami. Maka Allah menjawab: (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk? [QS. Al-Baqarah: 170]
Demikianlah, dengan uraian singkat tentang Ittiba’ ini semoga kita tidak terkecoh lagi oleh istilah Itiba’ , sehingga kita tidak gampang-gampang mengaplikasikan istilah ini secara serampangan. Aplikasikan istilah Ittiba’  sesuai maksudnya secara proporsional sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallohu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar