Senin, 30 Juli 2012

Seri Anekdot Akidah Salafi /wahabi(1)



Dalam Akidah Salafi: Allah SWT Duduk Di Atas Arsy-Nya Sambil Bersandar Dan Meletakkan Satu Kaki-Nya di Atas Kaki Lain-Nya!!
Satu lagi edisi menggelikan akidah Salafi/Wahhâbi yang sarat dengan posturisasi/tajsîm dan tasybîh/penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya yang mencirikan kekerdilan akal peyakinnya dan “keluguan” atau justru kedunguan dalam menelan mentah-mentah segala kepalsuan yang diatas-namakan Sunnah….
Apa bayangan kita jika ternyata di antara kaum Muslim ternyata terdapat saudara-saudara kita (tepatnya kaum Salafi /Wahabiyang dahulu lebih dikenal dengan nama Hanabilah atau Mujassimah-Musyabbihah) yang berkeyakinan bahwa Allah duduk di atas Arsy-Nya sambil meletakkan satu kaki-nya di atas kaki lainnya, seperti layaknya seseorang yang setelah lelah bekerja ia duduk sambil menselonjorkan kakinya yang ia silangkan; yang satu diletakkan di atas kaki lainnya. Akidah ini telah disebut dengan istilah Istilqâ’.
Mungkin Anda tidak percaya -setelah kedatangan Risalah Islamiyah yang memberantas akidah sesat kaum Musyrik dan kaum Yahudi yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan serba-serba kekurangan dan sifat-sifat khas kemakhlukan- jika ternyata masih ada akal-akal kerdil yang demikian mudahnya dikibuli oleh riwayat-riwayat isrâiliyah palsu yang disebar-luaskan misionaris Ahli Kitab yang menyelinap di tengah-tengah kaum Muslim, seperti Ka’ab al Ahbâr (si pendeta Yahudi yang begitu dibanggakan kaum Wahhâbi/Salafi dan diyakini kesucian dan keikhlasannya untuk Islam) dan antek-anteknya yang ia baurkan di kalangan umat Islam.
Akidah sesat yang kental dengan nuansa tajsîm dan tasybîb ini telah diterima dan diyakini serta dipertahankan dan diperjuangkan dengan “semangat 45” oleh tokoh-tokoh Mujassimah dari kalangan Hanabilah yang menjadi rujukan utama akidah teman-teman Sekte Salafi/Wahabi, seperti Abu Ya’lâ al Farrâ’, Al Khallâl, Abdul Mughîts dkk… nama-nama yang sangat akrab di mulut para ustadz Salafi ketika mereka mengutip nama-nama Ahlil Ilmi yang mereka banggakan dan mereka perkenalkan kepada kaum “super awam” sebagai pewaris para nabi dan penjembatan akidah Salaf Shaleh!!!
Saya katakana “Super Awam” karena para ustadz itu juga sebenaranya adalah kaum Awam yang baru melek mata mereka terhadap ajaran agama, lalu tidak menatap kecuali lukisan Allah yang digoreskan oleh tangan-tangan kaum Mujassimah-Musyabbihah di kain kanfas khayalan kerdil … Maha Suci Allah dari pensifatan kaum jahil… dan kaum Mujassimah-Musyabbihah!!
Agar Anda tidak terlalu lama melihat langsung akidah “lucu” Sekte Salafi/Wahabi, saya ajak Anda langsung menyimak riwayat-riwayat yang telah mereka telan mentah-mentah dan yang menjadikan pikiran dan akal mereka teracuni “Virus Ganas” yang melumpuhkan kerja akal mereka dan menyebabkannya mengalami kemacetan!!
Riwayat Istilqâ’ Dalam Leteratur Kaum Salafi Mujasima
  1. Al Farrâ’[1] meriwayatkan dengan sanad sebagai berikut:

وحدثنا أبو محمد الحسن بن محمد ، قال حدثنا علي بن عمر التمار من أصل كتابه ، قال حدثنا جعفر بن محمد بن أحمد بن الحكم الواسطي ، قال حدثنا أحمد بن علي الأبار أبو العباس ، قال حدثنا محمد ابن إسحاق الصاغاني ، قال حدثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ، قال حدثنا محمد بن فليح ، عن أبيه ، عن سعيد بن الحارث ، عن عبيد بن حنين ، قال : بينا أنا جالس في المسجد إذْ جاء قتادة بن النعمان فجلس يتحدث وثاب إليه ناس ، حتى دخلنا على أبي سعيد فوجدناه مستلقياً رافعا رجله اليمنى على اليسرى ، فسلمنا عليه وجلسنا ، فرفع قتادة يده إلى رجل إلى أبي سعيد فقرصها قرصة شديدة ، فقال أبو سعيد : سبحان الله يا أخي ، أوجعتني قال : ذاك أردت ، إنّ رسول الله (ص) قال : إنّ الله لما قضى خلقه استلقى ، ثم رفع إحدى رجليه على الأخرى ، ثم قال : لا ينبغي لأحد من خلقي أنْ يفعل هذا . فقال أبو سعيـد : لا جـرم والله لا أفعله أبداً .

.
“Abu Muhammad al Hasan ibn Muhammad menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, ‘….. dari Ubaid ibn Hunain, ia berkata, ‘Ketika aku duduk di masjid datanglah Qatadah ibn Nu’mân lalu ia duduk berbincang-bincang kemudian ada beberapa orang mendatanginya, sehingga kami masuk menemui Abu Sa’id, lalu kami temukan ia sedang terbarik sambil meletakkan kaki kanannya di atas kaki kirinya, kami pun mengucapkan salam kepadanya, lalu Qatadah mengangkat tangannya kepada kaki Abu Sa’id dan mencubitnya dengan jubitan keras. Abu Sa’id brerkata, ‘Subhanallah, hai saudaraku engkau telah menyakitiku.’Itu memang yang aku maukan. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ketika Allah selesai menciptakan ciptaan-Nya ia duduk menjulurkan kaki-Nya sambil mengangkat satu kaki-Nya di atas kaki lainnya. Setelahnya Dia berfiamna, ‘Tidak sepantasnya bagi seseorang dari Ciptaan-Ku melakukan seperti ini.’
Abu Sa’id berkata, ‘Demi Allah, aku pasti tidak akan mengulanginya lagi.’”
.
Setelah meriwayat riwayat konyol di atas al Farrâ’ (gembong Sekte Mujassimah) berkata meyakinkan dengan mengutip keterangan gembong Mujassimah lainnya yaitu al Khallâl:

قال أبو محمد الخلال : هذا حديث إسناده كلهم ثقات وهم مع ثقتهم شرط الصحيحين مسلم والبخاري .

.
Abu Muhammad al Khallâl berkata, “Hadis ini sanadnya shahih. Seluruh pariwayatnya adalah tsiqah/jujur lagi terpercaya. Di samping itu mereka telah memenuhi kriteria dua kitab Shahih; Bukhari dan Muslim.”[2]
Riwayat ini juga dikelurkan oleh Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab as Sunnah-nya.[3]
2. Al Farrâ’ juga menukil al Khallâl sebagai meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ubaid ibn Hunain, ia berkaata:
.

بينما أنا جالس في المسجد إذْ جاءني قتادة بن النعمان ، وجلس يتحدث إليّ ، وثاب إلينا الناس ، فقال قتادة : سمعت رسول الله (ص) يقول : إنّ لما فرغ من خلقه استوى على عرشه واستلقى ووضع إحدى رجليه على الأخرى ، وقال : إنها لا تصلح لبشر.

.
“Ketika aku duduk di masjid tiba-tiba datanglah Qatadah ibn Nu’mân lalu ia berbincang kepadaku, dan orang-orang pun mendatangki kami, maka Qatadah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika Allah selesai menciptakan ciptaan-Nya, ia beristiwa’/bersemayam di atas Arsy-Nya sambil selonjor dan meletakkan salah satu kaki-Nya di atas kaki yang lain. Dan Dia berfirman, “Sesunggunya duduk seperti ini tidak baik bagi manusia.”[4]
Lebih Dekat Mengenal Siapa Abu Ya’lâ al Farrâ’?
Abu Ya’lâ al Farrâ’ nama lengkapnya adalah Abu Ya’lâ Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Khalaf ibn al Farrâ’ al Hanbali (w.458 H). ia seorang Qadhi (Jaksa). Ia adalah salah satu di antara tokoh berfaham Mujassimah yang getol memperjuangkan demi tersebarnya akidah tajsim ini. Tentang sikap dan keyakinan tajsimnya, Abu Muhammad at Tamîmi menuturkan bahwa Abu Ya’lâ’ telah mencoreng mazhab Hanbali dengan corengan yang tidak bisa disucikan dengan air laut sekalipun. Demikian dinukil oleh Ibnu al Atsîr dalam al Kâmil-nya, 10/52 dan Ibnu Jauzi[5]. Dalam kitab Thabaqat al Hanâbilah, ia banyak menisbatkan kepalsuan atas nama Imam Ahmad. Ibnu Badrân ad Dasyti menukil darinya bahwa ia menetapkan batasan bagi Allah.
Ibnu Jauzi al Hanbali dalam kiktab Daf’u Syubah at Tasybîh telah berpuluh-puluh kali mensifatinya dengan si Mujassim dan membongkar akidah tajsîm yang ia yakini dan sebar-luaskan. Beliau menegaskan bahwa di antara pengikut mazhab Hanbali ada beberapa orang di antaranya adalah Abu Hâmid al Baghdadi (w. 403H) –guru Abu Ya’lâ, Abu Ya’l^a sendiri dan Ibnu Zâghûni al Hanbali (527 H) yang benar-benar telah mencoreng nama Mazhab dengan karangan-karangan mereka yang membuktikan bahwa mereka benar-benar telah berada di tingkat keawaman yang parah… mereka itu memaknai setiap sifat dengan pengertian material.. mereka mendengar ada riwyat mengatakan “Allah menciptakan Adam berdasarkan shurah-Nya.” Maka mereka maknai shûrah dengan makna bentuk dan mereka pun menetapkan bahwa Allah berbentuk.. Allah punya wajah, dua mata, mulut dll.
Ibnu Al Arabi al Maliki dalam kitab al ‘Awâshim wa al Qawâshim::210 berkata menyebutkan kesesatan akidah Abu Ya’lâ al Farrâ’:

وأخبرني من أثق به من مشيختي أنّ القاضي أبا يعلى محمد الحسين الفراء الحنبلي رئيس الحنابلة ببغداد كان إذا ذكر الله تعالى يقول وما ورد من هذه الظواهر في صفـاته تعالى : ألزموني بما شئتم فإني ألتزمه إلا اللحية والعورة .

.
“Guru-guruku yang terpercaya telah mengabarkan kepadaku bahwa Qadhi Abu Ya’lâ Muhammad al Husain al Farrâ’ al Hanbali –pimpinan sekte Hanabilah di kota Baghdad- jika menyebut Allah –ta’ala- berkata, dan nash-nash yang secara zahir menunjukkan sifat-sifat Allah, ia berkata, “Paksalah aku menerima konsekuensi semuanya, terserah kalian, kecuali jenggot dan alat kelamin. Aku tidak mengatakan Allah memilikinya.”
Dan kata Ibnu Al Arabi, ucapan dan kayakinan seperti itu adalah kekafiran nyata dan memperolok-olokkan Allah. Pengucapnya adalah seorang yang jahil tentang Allah –ta’alâ-….
Sumber Isu
Apabila kita teliti akidah sesat di atas dengan seksama kita akaan dengan mudah merasakan adanya tangan-tangan Yahudi di dalamnya. Imam Ibnu Jarir Ath Thabarimeriwayatkan dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat 5 surah asy Syûra sebuah riwayat yang memuat nafas beracum Ka’ab (si pendeta Yahudi yang aktif menyebarkan akidah yahudiahnya di tengah-tengah masyarakat Muslim). Dengan sanad bersambung kepada Muhammad ibn Qais, ia berkata:
.

يا كعب : أين ربنا ؟ فقال له الناس : دقّ الله تعالى ، أفتسأل عن هذا ؟ فقال كعب : دعوه ، فإن يك عالماً ازداد ، وإنْ يك جاهلاً تعلم ، سألت أين ربنا ، وهو على العرش متكيء واضع إحدى رجليه على الأخرى .

.
“Datanglah seorang kepada Ka’ab lalu berkata, ‘Hai Ka’ab, dimanakah Tuhan kita?’ maka orang-orang berkata, ‘Maha Lembut Allah –ta’alâ-, apakah engkau bertanya seperti itu? Maka Ka’ab berkata, ‘Biarkan ia bertanya, jika ia seorang yang telah mengerti ia akan bertambah ilmunya. Jika ia orang yang jahil, ia akan belajar. Engkau bertanya, ‘Di mana Tuhan kita?’ Dia berada di atas Arsy sembari bersandar sambil meletakkan salah satu kaki-Nya di atas kaki lain.”[6]
Dari sini kita dapat mengerti, bahwa Ka’ab begitu bersemangat menyebarkan akidah Yahudiahnya di tengah-tengah masyarakat Muslim. Dan tidak menutup kemungkinan ini adalah sebuah sandiwara Ka’ab dengan memerintahkan antek-anteknya untuk bertanya di kerumunan kaum Muslim tentang masalah tersebut dan agar Ka’ab berkesempatan menyisipkan akidah Yahudiahnya.
Anda berhak bertanya, dari sumber manakah Ka’ab (si pendeta kebanggaan kaum Salafi) itu mendapat konsep sesat tentang ketuhanan yang sangat bertentangan dengan kemaha sucian Allah SWT? Tidakkah Anda patut curiga bahwa Ka’ab sedang menyebar-luaskan akidah yahudiah yang ia terima dari ajara para pendeta Yahudi yang menjadi rujukan andalannya?
Kaum Salafi pasti akan bersemangat karena kini mereka menemukan “keterangan akurat dan otetik” tentang ketuhanan dari generasi unggulan yang konon –dalam keyakinan mereka- telah dibanggakan dan direkomendsasikan Nabi saw. dengan sabdanya “Sebaik-baik genersi adalah generasiku kemudian generasi seteleh mereka, kemudian generasi seteleh mereka.” Dan Ka’ab adalah salah satu dari penghulu generasi unggulan itu yang pemahaman agamanya menjadi rujukan utama Manhaj Salafi.!! Selamat atas penganut Sekte Salafi yang telah menjadikan Ka’ab dan para pendeta Ahlul Kiab lainnya sebagai Bapak Tauhid Sejati!!!
Itu Adalah Model!
Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa duduk dengan meletakan salah satu kaki di atas kaki lain adalah model duduk andalan Tuhan yang Allah akan marah jika ditiru hamba-hamba-Nya…
Sebagai agen Tuhan dan pengawal tauhdi sejati, Ka’ab begitu marah jika menyaksikan ada seorang duduk gaya Tuhan seperti di atas. Ketika Asy’ats ibn Qaisduduk sambil meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang lain, Ka’ab segera melarangnya sembari berkata:

إنها جلسة الرب تعالى.

.
“Ini adalah gaya duduknya Tuhan.” [7]
Ketarangan Para Tokoh Mujassimah
Riwayat palsu di atas tidak hanya diriwayatkan dan dishahihkan oleh para muhaddis, khususnya yang berakidahkan Mujassimah. Akan tetapi mereka juga menegaskan bahwa apa yang tertera dalam teks riwayat di atas harus diimiani tanpa boleh mena’wilkannya dengan makna yang tidak mengesankan posturisasi Tuhan…. Mereka menegsaskan bahwa demikianlah duduk Tuhan….
Komentar al Farrâ’
Perhatikan keterangan al Farrâ’ di bawah ini setelah ia menyebutkan riwayat-riwayat tentangnya dalam kitab Ibthâl at Ta’wîlât-nya:
.

اعلم أنّ هذا الخبر يفيد أشياء ، منها : جواز إطلاق الاستلقاء عليه لا على وجه الاستراحة ، بل على صفة لا نعقل معناها ، إذْ ليس في حمله على ظاهره ما يحيل صفاته ، لأنا لا نصف ذلك بصفات المخلـوقـين ، بـل نطلـق ذلك كما أطلقنا صفـة الوجـه واليدين وخلق آدم (ع) بها ، والاستواء على العرش ، وكذلك جاز النظر إليه ، لا في مكان ، وكذلك إثبات الوجه لا على الصفة التي هي معهودة في الشاهد وكذا العين .

.
“Ketahuilah bahwa riwayat ini memberi beberapa faedah/kesimpulan, di antaranya: Dibolehkannya menyebut sifat Istilqâ’(duduk bersandar sambil meletakkan salah satu kaki di atas kaki lainnya) untuk Allah, tapi tidak dengan maksud beristilqâ’ untuk beristirahat. Tetapi sebagai sifat yang kita tidak mengerti maknanya. Sebab memaknainya secara lahiriah tidak ada kemustahilan pada sifat-Nya. Karena kita mensifati-Nya dengan sifat makhluk-Nya. Akan tetapi kita menetapkannya seperti kita menetapkan sifat wajah, kedua tangan dan diciptakannnya Adam dengan keduanya, beristiwa’ di atas Arsy, dan begitu juga dibolehkannya memandang-Nya. Tidak berarti berada di tempat. Demikian pula menetapkan wajah tidak sebagai sifat yang biasa disaksikan. Begitu juga dengan mata.”
Ibnu Jauzi ketika menelaah hadis istilqâ’ yang ia sebutkan dengan nomer 9 dan membuktikan kepalsuannya, mengatakan, “Qadhi Abu Ya’lâ al Mujassim (yang berfaham Tajsîm) berpendapat bahwa istilqâ’ itu adalah sifat Allah. Dan Allah benar-benar meletakkan kaki-Nya di atas kaki lainnya. Lalu ia berkata, ‘Tapi tidak dengan makna yang bisa kita mengerti.’ Ia juga mengatakan, ‘Dalam hadis itu terdapat faidah yaitu ditetapkannya dua kaki untuk Allah.’”
Saya (Ibnu Jauzi) berkata, “Jika ia mengaku tidak mengerti maknanya, lalu bagaimana ia menetapkan dua kaki bagi Allah. Kita tidak akan menetapkan sifat bagi Dzat Allah dengan dasar hadis berpenyakit ini. Dan andai ia tidak cacat sekalipun, kita tidak boleh menetapkan sifat bagi Dzat Allah berdasarkan khabar âhâd (yang tidak mutawâtir).”[8]
Setelahnya ia menghujat ulama yang mena’wilkan riwayat itu dengan makna yang tidak mencoreng kemaha-sucian Allah SWT. ia menambahkan:
.

فإنْ قيل : لا يجوز حمل هذا الخبر على ظاهره ، بل يُحمل عليه قوله : لما فرغ من خلقه استلقى ، بمعنى ترك أنْ يخلق مثله ، ويديم ذلك كما يقال : فلان بنى داره وعمرها فاستلقى على ظهره ، بمعنى أنه ترك البناء ، ولا أراد اضطجع .

قيل : قولكم أنه لا يجـوز حمله على ذلك غلـط ، لأنا قـد بينا أنا لا نحملـه على صفة تستحيل في صفاته ، بل يجري في ذلك مجرى غيره من الصفات ….

.
“Jika dikatakan, ‘Tidak boleh menaknai riwayat itu secara lahiriah, akan tetapi dimaknai bahwa setelah selesai menciptakan ciptaan-Nya Allah istalqâ’ dengan arti tidak menciptkan lagi makhluk serupa. Dia melanggengkan ciptaan-Nya itu, seperti dalam ungkapan; Si fulan membangun rumahnya dan memakmurkannya lalu ia beristalqâ’ di atasnya, dengan arti ia meninggalkan membangun. Bukan maksudnya ia beristalqâ’/ berbaring.
Akan dikatakan (dalam jawabannya): ucapan kalian bahwa tidak boleh dimaknai secara lahiriah itu adalah salah. Sebab kami telah terangkan bahwa kami tidak memaknainya sebagai sifat yang mustahil bagi sifat Allah. Akan tetapi ia berlaku separti sifat-sifat-Nya yang lain. ….. “ [9]
Abu Salafy berkata:
Riwayat palsu yang diterima mentah-mentah dan ditelan tanpa memikirkan konsekuansinya mengandung sederetan konsekuansi yang mustahil bagi Allah SWT. di antaranya bahwa Allah itu:
A)    terbatas dengan batasan. Kendati tidak sedikit tokoh sekte Hanbaliah menerima dengan tanpa akal keyakinan bahwa Allah itu terbatas oleh batasan-batasan.
B)    Allah berada di sebuah tempat tertentu.
C)    Allah itu berjisim dengan memiliki lebar, panjang dan tebal.
Karenanya sebagian ulama mazhab Asy’ariyah seperti Ibnu Faurak mena’wilkan riwayat itu dengan ta’wil yang telah Anda baca di atas, namun segera dihujat oleh tokoh-tokoh kaum Mujassimah seperti al Farrâ’ al Hanbali al Mujassim.
Pendekar Sunnah Kebanggaan Salafi-Wahhâbi; Syeikh Albâni Mulai Pusing!
Hadis palsu di atas juga diriwayatkan oleh adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw Lil ‘Aliy al Ghaffâr[10] yang karena banyaknya hadis palsu di dalamnya, bangkitlah Pendekar Sunnah dari Padepokan negeri Syam; Syeikh Nâshiruddîn al Albâni untuk membersihkannnya dari hadis-hadis palsu tersebut. Ia menulis ringkasan kitab tersebut dengan judul Mukhtashar al ‘Uluw. Dalam kitab Silsilah al Ahâdîts ash Shahîhah-nya ia berkata, “dalam masalah ini al Hâfidz adz Dzahabi telah menulis kitabnya: al ‘Uluw Lil ‘Aliy al Ghaffâr dan aku dalam waktu dekat ini aku akan selesai meringkasnya dan menuliskan pengantar yang panjang lebar. Aku takhrij hadis-hadisnya dan aku sucikan dari hadis-hadis/akhbâr yang lemah/rapuh. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.”
Abu Salafy:
Apa yang ia banggakan bahwa telah membersihkan dan mensucikan kitab al ‘Uluw Lil ‘Aliy al Ghaffâr dari hadis-hadis lemah dan rapuh ternyata hanya khayalan dan anggapan belaka. Sebab ternyata Dengan hanya sekali berjalan saja di dalam lembaran-lembaran Mukhtashar yang ia tulis, kita akan tersandung dengan banyak hadis lemah dan bahkan palsu yang masih ia banggakan dan shahihkan. Di antaranya adalah hadis yang sedang menjadi tema pembicaraan kita kali ini yaitu hadis Istilqâ’. Pada hal 98 pada hadis dengan nomer:38 ia menshahihkannya berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim dengan menukil keterangan Ibnu Qayyim..Tetapi anehnya, dalam kitab Silsilah al Ahâdîts adh Dha’îfah.2/177 hadis nomer:775 ia menvonisnya sebagai hadis munkar. Di sini terlihat jelas bagaimana Pendekar Sunnah Kebanggan kaum Salafi Mujassimah ini sedang linglung dan kebingungan… Atau sikap seperti ini dalam kamus kaum Salafi (yang paling sempurna akal di antara sekalian alam) bukan tergolong kontradiksi/tanâqudh?
Karenanya, adalah sangat dikasihani kaum yang bersandar dan bertaqlid buta kepada kitab-kitab yang ditakhrij oleh Muhaddis Linglung yang “plenca-plence” seperti si Pendekar Sunnah dari Negeri Alban ini.
Dan kasus di atas bukan satu-satunya kasus kelinglungan Syeikh al Albâni. Masih banyak lainnya bahkan ratusan.
Penutup
Kendati keyakinan mereka itu sangat nyata kemujassimiannya, namun demikian mereka tetap saja mengelak disebut sebagai Mujassimah. Sebuah kedegilan atau entah apa itu namanya!

[1] Abu Ya’lâ al Farrâ’ al Hanbali adalah salah satu di antara tokoh yang getol membela akidah tajsim. Ibnu Al Arabi al Maliki dalam kitab al ‘Awâshim wa al Qawâshim::210 berkata menyebutkan kesesatan Al Farrâ’:
وأخبرني من أثق به من مشيختي أنّ القاضي أبا يعلى محمد الحسين الفراء الحنبلي رئيس الحنابلة ببغداد كان إذا ذكر الله تعالى يقول وما ورد من هذه الظواهر في صفـاته تعالى : ألزموني بما شئتم فإني ألتزمه إلا اللحية والعورة . وانتهى بهم القول إلى أن يقولوا إن أراد احد أن يعلم الله فلينظر إلى نفسه فانه الله بعينه إلا أن الله منزه عن الآفات
“Guru-guruku yang terpercaya telah mengabarkan kepadaku bahwa Qadhi Abu Ya’lâ Muhammad al Husain al Farrâ’ al Hanbali –pimpinan sekte Hanabilah di kota Baghdad- jika menyebut Allah –ta’ala- berkata, dan nash-nash yang secara zahir menunjukkan sifat-sifat Allah, ia berkata, “Paksalah aku menerima konsekuensi semuanya, terserah kalian, kecuali jenggot dan alat kelamin. Aku tidak mengatakan Allah memilikinya.” Sampai-sampai ia berpendapat bahwa barang siapa yang hendak menyaksikan Allah dengan kedua mata kepalanya maka hendaknya ia melihat dirinya sendiri, hanya saja Allah itu Maha Suci dari cacat.”
[2] Ibthâl at Ta’wîlât,1/188 dan 189 nomer.182. Kitab ini adalah kitab kebanggaan kaum Wahhabi dicetak serta disebar-luaskan dengan penuh semangat dengan menyakinkan kaum Muslim bahwa akidah yang termuat di dalamnya adalah mewakili akidah Islam yang murni. Seperti juga kitab as Sunnah karya al Khallâl, begitu mereka andalkan.
[3] As Sunnah; Ibnu Abi ‘Âshim, dengan tahqîq Syeikh al Albâni, 1/248 nomer 568. terbitan al Maktab al Islâmi. Beirut, tahun 1400 H/1980 M. cet. Pertama.
[4] Ibthâl at Ta’wîlât,1/188 dan 189 nomer.183.
[5] Daf’u Syubah at Tasybîh:102.
[6] Tafsir ath Thabari,5/7. Dâr al Fikr. Beirut.
[7] Musykilul Hadîts wa Bayânuhu; Ibnu Faurak: 42 cet. Dâr al Wa’y. Syria.
[8] Daf’u Syubah at Tasybîh, dengan tahqîh Sayyid hasan ibn Ali as Seqaf:169.cet. Dâr al Imam an Nawawi. Ummân/Yordania.
[9] Ibthâl at Ta’wîlât,1/189 dan 190.
[10] Kitab tersebut ia tulis di amasa awal pengembaraan intelektualnya, dan setelahnya ia banyak meralatnya dalam berbagai kktab karangannya. Tetepi anehnya, kaum Salafi-Wahhâbi Mujassimah tetap saja mengandalkan kitab karya adz Dzahabi yang satu ini. Memang benar dalam pepatah Arab: “Kecintaan/keganderunagn kepada sesuatu itu membutakan dan menulikan.” Kecintaan dan keganderungan kepada doktrin Tajsîm telah mebutakan dan menulikan banyak mata dan telinga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar