Jumat, 28 September 2012

benarkah salafy/ wahabi sejalan dengan manhaj salaf??

Benarkah Wahhabiyah Pewaris sejati Mazhab Salaf? (1)
Mentawîl Ayat-ayat Sifat Adalah Mazhab Salaf Shaleh
Ada dua poin yang perlu dicermati dengan teliti,Pertama, mazhab Wahhabi kental dengan fahamTasybîh dan Tajsîm dalam memahami nash-nash tentang sifat Allah SWT. tetapi mereka selalu mengelaknya dan berbelit-belit dalam membela diri. Kedua, mereka mengklaim bahwa faham mereka itu adalah representatif faham para sahabat Nabi dan tabi’în serta Salaf Ummat ini.
Dalam klaim mereka para sahabat dan tabi’în dalam menyikapi ayat-ayat atau hadis-hadis sifat adalah memberlakukan pemaknaannya dengan makna lahiriyah yang dikesankan oleh lahir lafadznya. Kata عينٌ – ساقٌ- يَدٌ- dan semisalnya harus dimaknai secara lahiriyah apa adanya tanpa memasukkan unsur majazi yang akrab dipergunakan dalam sastra Arab. Kata يدٌ harus dimaknai tangan, kata عينٌ harus dimaknai mata, dan kata ساق harus dimaknai betis. Ketika kata-kata itu dipergunakan untuk menyebut sifat Allah SWT. [1] maka arti yang sama pula harus kita fahami darinya.
Dasar pemahaman seperti ini tidak asing dalam pola pikir Sekte Wahhabiyah dan dapat dengan mudah kita temukan keterangan dan uraiannya dalam buku-buku akidah mereka. Jadi tidak perlu rasanya saya menyebutkannya lagi dari keterangan mereka. Artikel ini, tidak bermaksud menyalahkan atau mendukung pola pandang seperti itu. Hanya saja yang menjadi sorotan artikel kali ini adalah apakah benar para sahabat dan tabi’în (Salaf Shaleh) berfaham seperti itu? Sepertinya, para arsitek Sekte Wahhabiyah perlu mencari pembelaan bahwa mazhab mereka dalam masalah sifat Allah ini adalah memiliki akar historis yang menyambungkannya kepada generasi awal Islam yang cemerlang… tentunya agar dapat menarik para peminat agar tergiur dengan slogan, “Mazhab kami adalah mazhab Salaf; Sahabat dan Tabi’în” … Minimal itu adalah trik pemasaran yang sungguh simpatik dan diharap dapat mendongkrak tinggkat minat para konsumen.
Mazhab Salaf Bertolak-belakang dengan Faham Wahhabiyah!
Para tokoh Sekte Wahhabiyah, seperti Ibnu Utsaimin dan lainnya telah panjang lebar mengkritik segala bentuk usaha mena’wilkan ayat-ayat atau hadis-hadis sifat. Mereka mengecamnya sebagai slogan kaum Jahmiyahdan Mu’aththilah… telah menyalai Al Qur’an dan Sunnah serta telah terjebak oleh kesesatan para filsuf. Kepalsuan slogan mereka ini telah memikat sebagian pelajar agama yang belum matang pemahaman agamanya. Bahkan tidak jarang muncul anggapan bahwa mena’wîl ayat-ayat sifat adalah dhalâl, kesesatan, bid’ah, terjangkit faham Jahmiyah dan para salaf tidak mengenal ta’wîl !!Akan tetapi, setiap yang mau menyempatkan diri membuka-buka lembaran kitab para ulama pasti akan mengetahui dengan gamblang bahwa para Salaf; generasi terdahulu, sahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în telah melibatkan diri dalam mena’wil ayat-ayat atau hadis-hadis sifat… mereka menegaskan bahwa dzahir sebagian ayat sifat itu bukan yang dimaksud olehnya. Dan sikap mereka itu pastilah diambil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw. yang shahihah. Dalam kesempatan ini saya akan sebutkan beberapa contoh dari ta’wîl mereka agar dimengerti bahwa klaim kaum Wahhabi dalam hal ini adalah tidak berdasar dan justru bukti-bukti yang ada menentang klaim mereka!
Al Qur’an dan Sunnah Mengajarkan Ta’wîl
1) Allah SWT telah mengajari kita ta’wîl [2] dalam kitab suci-Nya. Allah SWT berfirman:
نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ
“mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.” (QS.9 [at Taubah] :67)
إِنَّا نَسِيْناكمْ
“Sesungguhnya Kami telah melupakan kamu.” (QS.32 [as Sajdah];14)
Ayat-ayat yang menyebutkan sifat lupa bagi Allah SWT haruslah dita’wîl dengan makna selain makna dzahirnya. Allah Maha Suci dari sifat lupa kendati kata lupa telah dipergunakan dalam ayat-ayat Al Qur’an untuk Allah SWT. Kita tidak dibenarkan menetapkan sifat lupa bagi Allah SWT. walaupun dengan mengatakan bahwa “lupa Allah tidak seperti lupa kita”, seperti yang biasa dikatakan oleh kaum Musyabbihah/Wahhabi ketika menyebut beberapa sifat Allah yang tertera dalam Al Qur’an, sebab Allah telah berfirman:
وَ ما كانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“… dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Q.S. Maryam: 64)
Tidaklah halal bagi seorang yang berakal waras untuk mengatakan bahwa “Allah lupa, tetapi tidak seperti lupa kita, Allah duduk tetapi tidak seperti duduk kita, Allah bersemayam di langit tetapi Dia tidak menyerupai sesuatu apapun.” Kata-kata terakhir (tetapi tidak seperti lupa kita dll.) tidak berguna sama sekali, ia tidak dapat menghindarkan dari tuduhan tasybîh dan tajsîm, sebab tidak semua kata yang datang dalam sifat Allah SWT. dapat ditetapkan sebagai sifat bagi Allah secara lahiriyah.
Ketika kaum Wahhabi mengatakan Allah duduk, Allah turun, maka tidaklah berguna kata-kata yang mengatakan bahwa duduk dan turun Allah tidak seperti duduk dan turun kita, sebab turun itu artinya pergeseran dan perpindahan dari sebuah tempat yang lebih tinggi ke tempat lain yang lebih rendah, artinya ada gerak di situ, lalu apabila setelah menetapkan sifat itu bagi Allah SWT kita mengatakan tetapi tidak seperti duduk dan turun kita maka kita akan menafikannya, baik kita sadari atau tidak.
Jadi kata-kata itu adalah kontradiksi belaka, sebab yang namanya turun meniscayakan adanya gerak, dan gerak adalah sifat makhluk,hâdits. Jika dikatakan adanya turun tetapi tanpa gerak, itu tidak logis dan benar-benar telah menjungkir-balikkan makna bahasa!! Itu adalah kontradiksi antara pembukaan kalimat dan akhirannya! Berbeda dengan ketika kita mengatakan, “Allah Maha mendengar, Samî’tetapi tidak seperti pendengaran kita, Allah Maha Melihat, Bashîr tetapi tidak seperti penglihatan kita” sebab maksud “Allah Maha Mendengar” ialah kita menetapkan sifat mendengar, sam’u, kemudian kita menyucikan Allah dari kebutuhan kepada alat bantu dalam mendengar yaitu telinga. Di sini dapat dibayangkan adanya sifat mendengar tanpa bantuan alat kemudian kita menyerahkan kepada Allah pengetahuan tentang bagaimana sifat Maha Mendengar itu, sebab sifat Dzat Maha Pencipta tidaklah mampu dijangkau oleh makhluk-Nya yang serba lemah ini. Di sini ada penetapan sifat dan ada penyucian dari menyerupai makhluk-Nya dan kemudian men-tafwîdh [3] , menyerahkan ilmu tentangnya kepada Allah SWT. dan itu sangatlah berbeda dengan ucapan kaum Wahhabi, “Allah duduk, Allah turun tetapi tidak seperti duduk dan turunnya kita.” Seperti telah disebutkan sebelumnya.
Kenyataan ini akan makin jelas dengan memerhatikan contoh di bawah ini.
2) Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat hadis qudsi:
يَا ابنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَم تَزُرْنِيْ قال: يا ربِّ كيفَ أَعودُكَ وَ أنتَ ربُّ العالَمِيْنَ، قال: أمَا علِمتَ أَنَّ عبْدِيْ فلانًا مَرِضَ فلَمْ تَعُدْهُ، أما علمتَ أَنَكَ لو عُدْتَهُ وَجَدْتَنِي عِنْدَهُْ
“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, hadis no.2569)
Abu Salafi berkata:
Wahai Anda yang berakal waras, bolehkah kita mengatakan, “Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita; makhluk-Nya?!! Bolehkah kita meyakini bahwa jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu?, dengan pemahaman dzahir teksnya dan dengan tanpa memasukkan unsur majazi?!! Pasti tidak!!
Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan “Sakit” atau “Dia sedang Sakit” dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarklan dzahir teks dalam hadis itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dzahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.
Makna hadis di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut, “Para ulama berkata, ‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud ‘engkau akan dapati Aku di sisinya’engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)
Berdasarkan kaidah yang ditegakkan di atas pondasi Al Qur’an dan Sunnah di atas, para sahabat, tabi’în dan para imam mujtahidîn berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sifat.
Untuk lebih meyakinkan mari kita ikuti ta’wîl mereka sebagai terangkum di bawah ini.
Ibnu Abbas ra. Menta’wîl
Di antara sahabat besar yang berjalan di atas kaidah ta’wîl adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulullah saw. dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu- dan pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari)
Telah banyak riwayat yang menukil ta’wîl beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebagiannya.
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat:
يومَ يُكْشَفُ عَنْ ساقٍ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al Qalam]:42)
Ibnu Abbas ra. berkata, “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).”
Di sini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌkegentingan.
Ta’wîl di atas telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya,29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl , maknanya ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini.Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dll.
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat:
و السَّمَاءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)
Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al ‘Ârûs,10/417.)
Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ di sini mena’wîlnya dengan بِقُوَّةٍ dengan kekuatan. Demikian diriwayatkan al Hafidz Imam Inbu Jarir ath Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3) Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat yang menyebut Allah melupakan kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.
Allah SWT berfirman:
فَاليومَ نَنْساهُمْ كما نَسُوا لِقاءَ يومِهِم هَذَا
“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)
Ibnu Jarir berkata:
‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa… “ (Tafsir Ibnu Jarir,8/201)
Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah pemalingan sebuah kata dari makna aslinya yang dzahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dll. Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir ath Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Catatan:
Para tokoh sentral Sekte Wahhabiyah, seperti Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh, tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokh ahli tafsir generasi tabi’în. [4]
Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh berkata:“Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam Rabbani, naman lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan kepadanya; tentang apa ia turun? Bagaimana ia turun? Apa maknanya?.”Ia wafat tahun102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at Tauhidnya.
Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan bahkan oleh Wahhabiyah sendiri!!! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa telah tetap adanya metode ta’wîl oleh para salaf. Dan di atas jalan inilah para ulama, seperti Imam al Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang menuduh sikap menta’wîl adalah sikap menyimpang dan berjalan di atas kesesatan faham Jahmiyah, dan ber-ilhad [5] dalam ayat-ayat dan asmâ Allah seperti yang dituduhkan kaum Wahhabi, semisal Ibnu Utsaimin [6] dan kawan-kawannya, maka ia benar-benar telahkebelinger dan benar-benar dalam kekeliruan nyata!! Dari sini dapat dimengerti betapa palsunya klaim mengikuti Salaf yang selalu dipropagandakan kaum Wahhabi untuk menipu kaum awam.
Semoga kita diselamatkan dari kesesatan dan penyimpangan dalam agama. Amîn Ya Rabbal Âlamin.
___________________________
[1] Sebenarnya, kata-kata itu bukan disebut sebagai sifat, apalagi Sifat Dzatiyah Allah, ia adalah kata-kata yang di-idhafah-kan (disandarkan) kepada Allah SWT., seperti: يد الله ,عين الله di nama kata يد di-idhafah-kan/disandarkan kepada Allah. Jadi pada dasarnya, salahlah mereka yang menyebutnya sebagai sifat! Berbeda dengan kata: سميع- بصير-عليم kata-kata itu dan semisalnya benar sebagai kata sifat, jika ia disematkan untuk Allah maka ia adalah sifat Allah SWT. Semoga kami berkesempatan menguraikan masalah ini lebih rinci dalam kesempatan lain.
[2] Ta’wîl dimaksud di sini adalah mengartikan sebuah kata atau kalimat bukan dengan makna dzahir karena ada alasan yang mengharuskan atau membenarkan pemindahan makna dari makna hakiki kepada makna majazi. Dan jika ada yang keberatan dengan istilah ta’wil maka kami tidak keberatan jika istilah itu diganti dengan istilah lain, apapun namaya, sebab yang penting bagi kami adalah esensi masalah bukan bertengkar tentang istilah dan penamaan. Harap dimengerti dengan baik!
[3] Dalam artikel lain insyaallah akan dibahas masalah tafwîdh.
[4] Fathu al Majîd Syarah KItab at Tauhîd:405.
[5] Ber-ilhad dalam ayat-ayat dan asma’ Allah adalah sikap memplesetkan ayat-ayat dan asma’Allah yang sangat dikecam keras dalam Al- Qur’an. Secara bahasa kata ilhâd artinya membelokkan/memiringkan. Ber-ilhad dalam sifat dan asma’ Allah itu dilakukan dengan salah satu dari tiga sikap, 1) menolak, 2) menta’wil dan 3) menyalahinya. Menta’wil dalam pandangan Wahhabiyah sama dengan men-tahrif(memplesetkan/merusak makna hakiki). Ibnu Utsaimin mendefenisikan tahrîf dengan mengataan, ”Men-tahrif itu merubah lafadznya atau memalingkan maknanya dari yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya, seperti ia berkata, kataاستوى على العرش Allah bersemayam di atas Arsy-Nya diartikan menguasai Arsy-Nya. Atau ينزِلُ ربُّنا إلي السماء الدنيا Tuhan turun ke langit dunia diartikan dengan turun perkara-Nya, bukan Tuhan yang turun! (Baca Syarah Aqidah al Washithiyah: 63.) Jadi siapapun yang menta’wil ayat-ayat sifat berarti ia benar-benar telah ber-ilhad dalamasmâ’ Allah dan itu sikap menentang dan merusak agama dan ia sangat terkecam! Demikianlah kaum Wahhabi memahami agama dan menyikapi para sahabat Nabi mulia dan para Salaf Shaleh! Para sahabat kini mereka tuduh sebagai kaum Mulhidîn dalam asmâ’ dan ayat-ayat Allah SWT., sementara itu dalam rangka mengelabui kaum awam mereka mengklaim bahwa mazhab mereka adalah mazhab para sahabat dan Salaf Shaleh! Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS.18 [al Kahfi]:5).
[6] Syarah Aqidah al Washithiyah: 58-63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar