Senin, 30 Juli 2012

Seri Anekdot Akidah Salafi /wahabi(1)



Dalam Akidah Salafi: Allah SWT Duduk Di Atas Arsy-Nya Sambil Bersandar Dan Meletakkan Satu Kaki-Nya di Atas Kaki Lain-Nya!!
Satu lagi edisi menggelikan akidah Salafi/Wahhâbi yang sarat dengan posturisasi/tajsîm dan tasybîh/penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya yang mencirikan kekerdilan akal peyakinnya dan “keluguan” atau justru kedunguan dalam menelan mentah-mentah segala kepalsuan yang diatas-namakan Sunnah….
Apa bayangan kita jika ternyata di antara kaum Muslim ternyata terdapat saudara-saudara kita (tepatnya kaum Salafi /Wahabiyang dahulu lebih dikenal dengan nama Hanabilah atau Mujassimah-Musyabbihah) yang berkeyakinan bahwa Allah duduk di atas Arsy-Nya sambil meletakkan satu kaki-nya di atas kaki lainnya, seperti layaknya seseorang yang setelah lelah bekerja ia duduk sambil menselonjorkan kakinya yang ia silangkan; yang satu diletakkan di atas kaki lainnya. Akidah ini telah disebut dengan istilah Istilqâ’.
Mungkin Anda tidak percaya -setelah kedatangan Risalah Islamiyah yang memberantas akidah sesat kaum Musyrik dan kaum Yahudi yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan serba-serba kekurangan dan sifat-sifat khas kemakhlukan- jika ternyata masih ada akal-akal kerdil yang demikian mudahnya dikibuli oleh riwayat-riwayat isrâiliyah palsu yang disebar-luaskan misionaris Ahli Kitab yang menyelinap di tengah-tengah kaum Muslim, seperti Ka’ab al Ahbâr (si pendeta Yahudi yang begitu dibanggakan kaum Wahhâbi/Salafi dan diyakini kesucian dan keikhlasannya untuk Islam) dan antek-anteknya yang ia baurkan di kalangan umat Islam.
Akidah sesat yang kental dengan nuansa tajsîm dan tasybîb ini telah diterima dan diyakini serta dipertahankan dan diperjuangkan dengan “semangat 45” oleh tokoh-tokoh Mujassimah dari kalangan Hanabilah yang menjadi rujukan utama akidah teman-teman Sekte Salafi/Wahabi, seperti Abu Ya’lâ al Farrâ’, Al Khallâl, Abdul Mughîts dkk… nama-nama yang sangat akrab di mulut para ustadz Salafi ketika mereka mengutip nama-nama Ahlil Ilmi yang mereka banggakan dan mereka perkenalkan kepada kaum “super awam” sebagai pewaris para nabi dan penjembatan akidah Salaf Shaleh!!!
Saya katakana “Super Awam” karena para ustadz itu juga sebenaranya adalah kaum Awam yang baru melek mata mereka terhadap ajaran agama, lalu tidak menatap kecuali lukisan Allah yang digoreskan oleh tangan-tangan kaum Mujassimah-Musyabbihah di kain kanfas khayalan kerdil … Maha Suci Allah dari pensifatan kaum jahil… dan kaum Mujassimah-Musyabbihah!!
Agar Anda tidak terlalu lama melihat langsung akidah “lucu” Sekte Salafi/Wahabi, saya ajak Anda langsung menyimak riwayat-riwayat yang telah mereka telan mentah-mentah dan yang menjadikan pikiran dan akal mereka teracuni “Virus Ganas” yang melumpuhkan kerja akal mereka dan menyebabkannya mengalami kemacetan!!
Riwayat Istilqâ’ Dalam Leteratur Kaum Salafi Mujasima
  1. Al Farrâ’[1] meriwayatkan dengan sanad sebagai berikut:

وحدثنا أبو محمد الحسن بن محمد ، قال حدثنا علي بن عمر التمار من أصل كتابه ، قال حدثنا جعفر بن محمد بن أحمد بن الحكم الواسطي ، قال حدثنا أحمد بن علي الأبار أبو العباس ، قال حدثنا محمد ابن إسحاق الصاغاني ، قال حدثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ، قال حدثنا محمد بن فليح ، عن أبيه ، عن سعيد بن الحارث ، عن عبيد بن حنين ، قال : بينا أنا جالس في المسجد إذْ جاء قتادة بن النعمان فجلس يتحدث وثاب إليه ناس ، حتى دخلنا على أبي سعيد فوجدناه مستلقياً رافعا رجله اليمنى على اليسرى ، فسلمنا عليه وجلسنا ، فرفع قتادة يده إلى رجل إلى أبي سعيد فقرصها قرصة شديدة ، فقال أبو سعيد : سبحان الله يا أخي ، أوجعتني قال : ذاك أردت ، إنّ رسول الله (ص) قال : إنّ الله لما قضى خلقه استلقى ، ثم رفع إحدى رجليه على الأخرى ، ثم قال : لا ينبغي لأحد من خلقي أنْ يفعل هذا . فقال أبو سعيـد : لا جـرم والله لا أفعله أبداً .

.
“Abu Muhammad al Hasan ibn Muhammad menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, ‘….. dari Ubaid ibn Hunain, ia berkata, ‘Ketika aku duduk di masjid datanglah Qatadah ibn Nu’mân lalu ia duduk berbincang-bincang kemudian ada beberapa orang mendatanginya, sehingga kami masuk menemui Abu Sa’id, lalu kami temukan ia sedang terbarik sambil meletakkan kaki kanannya di atas kaki kirinya, kami pun mengucapkan salam kepadanya, lalu Qatadah mengangkat tangannya kepada kaki Abu Sa’id dan mencubitnya dengan jubitan keras. Abu Sa’id brerkata, ‘Subhanallah, hai saudaraku engkau telah menyakitiku.’Itu memang yang aku maukan. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ketika Allah selesai menciptakan ciptaan-Nya ia duduk menjulurkan kaki-Nya sambil mengangkat satu kaki-Nya di atas kaki lainnya. Setelahnya Dia berfiamna, ‘Tidak sepantasnya bagi seseorang dari Ciptaan-Ku melakukan seperti ini.’
Abu Sa’id berkata, ‘Demi Allah, aku pasti tidak akan mengulanginya lagi.’”
.
Setelah meriwayat riwayat konyol di atas al Farrâ’ (gembong Sekte Mujassimah) berkata meyakinkan dengan mengutip keterangan gembong Mujassimah lainnya yaitu al Khallâl:

قال أبو محمد الخلال : هذا حديث إسناده كلهم ثقات وهم مع ثقتهم شرط الصحيحين مسلم والبخاري .

.
Abu Muhammad al Khallâl berkata, “Hadis ini sanadnya shahih. Seluruh pariwayatnya adalah tsiqah/jujur lagi terpercaya. Di samping itu mereka telah memenuhi kriteria dua kitab Shahih; Bukhari dan Muslim.”[2]
Riwayat ini juga dikelurkan oleh Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab as Sunnah-nya.[3]
2. Al Farrâ’ juga menukil al Khallâl sebagai meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ubaid ibn Hunain, ia berkaata:
.

بينما أنا جالس في المسجد إذْ جاءني قتادة بن النعمان ، وجلس يتحدث إليّ ، وثاب إلينا الناس ، فقال قتادة : سمعت رسول الله (ص) يقول : إنّ لما فرغ من خلقه استوى على عرشه واستلقى ووضع إحدى رجليه على الأخرى ، وقال : إنها لا تصلح لبشر.

.
“Ketika aku duduk di masjid tiba-tiba datanglah Qatadah ibn Nu’mân lalu ia berbincang kepadaku, dan orang-orang pun mendatangki kami, maka Qatadah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika Allah selesai menciptakan ciptaan-Nya, ia beristiwa’/bersemayam di atas Arsy-Nya sambil selonjor dan meletakkan salah satu kaki-Nya di atas kaki yang lain. Dan Dia berfirman, “Sesunggunya duduk seperti ini tidak baik bagi manusia.”[4]
Lebih Dekat Mengenal Siapa Abu Ya’lâ al Farrâ’?
Abu Ya’lâ al Farrâ’ nama lengkapnya adalah Abu Ya’lâ Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Khalaf ibn al Farrâ’ al Hanbali (w.458 H). ia seorang Qadhi (Jaksa). Ia adalah salah satu di antara tokoh berfaham Mujassimah yang getol memperjuangkan demi tersebarnya akidah tajsim ini. Tentang sikap dan keyakinan tajsimnya, Abu Muhammad at Tamîmi menuturkan bahwa Abu Ya’lâ’ telah mencoreng mazhab Hanbali dengan corengan yang tidak bisa disucikan dengan air laut sekalipun. Demikian dinukil oleh Ibnu al Atsîr dalam al Kâmil-nya, 10/52 dan Ibnu Jauzi[5]. Dalam kitab Thabaqat al Hanâbilah, ia banyak menisbatkan kepalsuan atas nama Imam Ahmad. Ibnu Badrân ad Dasyti menukil darinya bahwa ia menetapkan batasan bagi Allah.
Ibnu Jauzi al Hanbali dalam kiktab Daf’u Syubah at Tasybîh telah berpuluh-puluh kali mensifatinya dengan si Mujassim dan membongkar akidah tajsîm yang ia yakini dan sebar-luaskan. Beliau menegaskan bahwa di antara pengikut mazhab Hanbali ada beberapa orang di antaranya adalah Abu Hâmid al Baghdadi (w. 403H) –guru Abu Ya’lâ, Abu Ya’l^a sendiri dan Ibnu Zâghûni al Hanbali (527 H) yang benar-benar telah mencoreng nama Mazhab dengan karangan-karangan mereka yang membuktikan bahwa mereka benar-benar telah berada di tingkat keawaman yang parah… mereka itu memaknai setiap sifat dengan pengertian material.. mereka mendengar ada riwyat mengatakan “Allah menciptakan Adam berdasarkan shurah-Nya.” Maka mereka maknai shûrah dengan makna bentuk dan mereka pun menetapkan bahwa Allah berbentuk.. Allah punya wajah, dua mata, mulut dll.
Ibnu Al Arabi al Maliki dalam kitab al ‘Awâshim wa al Qawâshim::210 berkata menyebutkan kesesatan akidah Abu Ya’lâ al Farrâ’:

وأخبرني من أثق به من مشيختي أنّ القاضي أبا يعلى محمد الحسين الفراء الحنبلي رئيس الحنابلة ببغداد كان إذا ذكر الله تعالى يقول وما ورد من هذه الظواهر في صفـاته تعالى : ألزموني بما شئتم فإني ألتزمه إلا اللحية والعورة .

.
“Guru-guruku yang terpercaya telah mengabarkan kepadaku bahwa Qadhi Abu Ya’lâ Muhammad al Husain al Farrâ’ al Hanbali –pimpinan sekte Hanabilah di kota Baghdad- jika menyebut Allah –ta’ala- berkata, dan nash-nash yang secara zahir menunjukkan sifat-sifat Allah, ia berkata, “Paksalah aku menerima konsekuensi semuanya, terserah kalian, kecuali jenggot dan alat kelamin. Aku tidak mengatakan Allah memilikinya.”
Dan kata Ibnu Al Arabi, ucapan dan kayakinan seperti itu adalah kekafiran nyata dan memperolok-olokkan Allah. Pengucapnya adalah seorang yang jahil tentang Allah –ta’alâ-….
Sumber Isu
Apabila kita teliti akidah sesat di atas dengan seksama kita akaan dengan mudah merasakan adanya tangan-tangan Yahudi di dalamnya. Imam Ibnu Jarir Ath Thabarimeriwayatkan dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat 5 surah asy Syûra sebuah riwayat yang memuat nafas beracum Ka’ab (si pendeta Yahudi yang aktif menyebarkan akidah yahudiahnya di tengah-tengah masyarakat Muslim). Dengan sanad bersambung kepada Muhammad ibn Qais, ia berkata:
.

يا كعب : أين ربنا ؟ فقال له الناس : دقّ الله تعالى ، أفتسأل عن هذا ؟ فقال كعب : دعوه ، فإن يك عالماً ازداد ، وإنْ يك جاهلاً تعلم ، سألت أين ربنا ، وهو على العرش متكيء واضع إحدى رجليه على الأخرى .

.
“Datanglah seorang kepada Ka’ab lalu berkata, ‘Hai Ka’ab, dimanakah Tuhan kita?’ maka orang-orang berkata, ‘Maha Lembut Allah –ta’alâ-, apakah engkau bertanya seperti itu? Maka Ka’ab berkata, ‘Biarkan ia bertanya, jika ia seorang yang telah mengerti ia akan bertambah ilmunya. Jika ia orang yang jahil, ia akan belajar. Engkau bertanya, ‘Di mana Tuhan kita?’ Dia berada di atas Arsy sembari bersandar sambil meletakkan salah satu kaki-Nya di atas kaki lain.”[6]
Dari sini kita dapat mengerti, bahwa Ka’ab begitu bersemangat menyebarkan akidah Yahudiahnya di tengah-tengah masyarakat Muslim. Dan tidak menutup kemungkinan ini adalah sebuah sandiwara Ka’ab dengan memerintahkan antek-anteknya untuk bertanya di kerumunan kaum Muslim tentang masalah tersebut dan agar Ka’ab berkesempatan menyisipkan akidah Yahudiahnya.
Anda berhak bertanya, dari sumber manakah Ka’ab (si pendeta kebanggaan kaum Salafi) itu mendapat konsep sesat tentang ketuhanan yang sangat bertentangan dengan kemaha sucian Allah SWT? Tidakkah Anda patut curiga bahwa Ka’ab sedang menyebar-luaskan akidah yahudiah yang ia terima dari ajara para pendeta Yahudi yang menjadi rujukan andalannya?
Kaum Salafi pasti akan bersemangat karena kini mereka menemukan “keterangan akurat dan otetik” tentang ketuhanan dari generasi unggulan yang konon –dalam keyakinan mereka- telah dibanggakan dan direkomendsasikan Nabi saw. dengan sabdanya “Sebaik-baik genersi adalah generasiku kemudian generasi seteleh mereka, kemudian generasi seteleh mereka.” Dan Ka’ab adalah salah satu dari penghulu generasi unggulan itu yang pemahaman agamanya menjadi rujukan utama Manhaj Salafi.!! Selamat atas penganut Sekte Salafi yang telah menjadikan Ka’ab dan para pendeta Ahlul Kiab lainnya sebagai Bapak Tauhid Sejati!!!
Itu Adalah Model!
Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa duduk dengan meletakan salah satu kaki di atas kaki lain adalah model duduk andalan Tuhan yang Allah akan marah jika ditiru hamba-hamba-Nya…
Sebagai agen Tuhan dan pengawal tauhdi sejati, Ka’ab begitu marah jika menyaksikan ada seorang duduk gaya Tuhan seperti di atas. Ketika Asy’ats ibn Qaisduduk sambil meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang lain, Ka’ab segera melarangnya sembari berkata:

إنها جلسة الرب تعالى.

.
“Ini adalah gaya duduknya Tuhan.” [7]
Ketarangan Para Tokoh Mujassimah
Riwayat palsu di atas tidak hanya diriwayatkan dan dishahihkan oleh para muhaddis, khususnya yang berakidahkan Mujassimah. Akan tetapi mereka juga menegaskan bahwa apa yang tertera dalam teks riwayat di atas harus diimiani tanpa boleh mena’wilkannya dengan makna yang tidak mengesankan posturisasi Tuhan…. Mereka menegsaskan bahwa demikianlah duduk Tuhan….
Komentar al Farrâ’
Perhatikan keterangan al Farrâ’ di bawah ini setelah ia menyebutkan riwayat-riwayat tentangnya dalam kitab Ibthâl at Ta’wîlât-nya:
.

اعلم أنّ هذا الخبر يفيد أشياء ، منها : جواز إطلاق الاستلقاء عليه لا على وجه الاستراحة ، بل على صفة لا نعقل معناها ، إذْ ليس في حمله على ظاهره ما يحيل صفاته ، لأنا لا نصف ذلك بصفات المخلـوقـين ، بـل نطلـق ذلك كما أطلقنا صفـة الوجـه واليدين وخلق آدم (ع) بها ، والاستواء على العرش ، وكذلك جاز النظر إليه ، لا في مكان ، وكذلك إثبات الوجه لا على الصفة التي هي معهودة في الشاهد وكذا العين .

.
“Ketahuilah bahwa riwayat ini memberi beberapa faedah/kesimpulan, di antaranya: Dibolehkannya menyebut sifat Istilqâ’(duduk bersandar sambil meletakkan salah satu kaki di atas kaki lainnya) untuk Allah, tapi tidak dengan maksud beristilqâ’ untuk beristirahat. Tetapi sebagai sifat yang kita tidak mengerti maknanya. Sebab memaknainya secara lahiriah tidak ada kemustahilan pada sifat-Nya. Karena kita mensifati-Nya dengan sifat makhluk-Nya. Akan tetapi kita menetapkannya seperti kita menetapkan sifat wajah, kedua tangan dan diciptakannnya Adam dengan keduanya, beristiwa’ di atas Arsy, dan begitu juga dibolehkannya memandang-Nya. Tidak berarti berada di tempat. Demikian pula menetapkan wajah tidak sebagai sifat yang biasa disaksikan. Begitu juga dengan mata.”
Ibnu Jauzi ketika menelaah hadis istilqâ’ yang ia sebutkan dengan nomer 9 dan membuktikan kepalsuannya, mengatakan, “Qadhi Abu Ya’lâ al Mujassim (yang berfaham Tajsîm) berpendapat bahwa istilqâ’ itu adalah sifat Allah. Dan Allah benar-benar meletakkan kaki-Nya di atas kaki lainnya. Lalu ia berkata, ‘Tapi tidak dengan makna yang bisa kita mengerti.’ Ia juga mengatakan, ‘Dalam hadis itu terdapat faidah yaitu ditetapkannya dua kaki untuk Allah.’”
Saya (Ibnu Jauzi) berkata, “Jika ia mengaku tidak mengerti maknanya, lalu bagaimana ia menetapkan dua kaki bagi Allah. Kita tidak akan menetapkan sifat bagi Dzat Allah dengan dasar hadis berpenyakit ini. Dan andai ia tidak cacat sekalipun, kita tidak boleh menetapkan sifat bagi Dzat Allah berdasarkan khabar âhâd (yang tidak mutawâtir).”[8]
Setelahnya ia menghujat ulama yang mena’wilkan riwayat itu dengan makna yang tidak mencoreng kemaha-sucian Allah SWT. ia menambahkan:
.

فإنْ قيل : لا يجوز حمل هذا الخبر على ظاهره ، بل يُحمل عليه قوله : لما فرغ من خلقه استلقى ، بمعنى ترك أنْ يخلق مثله ، ويديم ذلك كما يقال : فلان بنى داره وعمرها فاستلقى على ظهره ، بمعنى أنه ترك البناء ، ولا أراد اضطجع .

قيل : قولكم أنه لا يجـوز حمله على ذلك غلـط ، لأنا قـد بينا أنا لا نحملـه على صفة تستحيل في صفاته ، بل يجري في ذلك مجرى غيره من الصفات ….

.
“Jika dikatakan, ‘Tidak boleh menaknai riwayat itu secara lahiriah, akan tetapi dimaknai bahwa setelah selesai menciptakan ciptaan-Nya Allah istalqâ’ dengan arti tidak menciptkan lagi makhluk serupa. Dia melanggengkan ciptaan-Nya itu, seperti dalam ungkapan; Si fulan membangun rumahnya dan memakmurkannya lalu ia beristalqâ’ di atasnya, dengan arti ia meninggalkan membangun. Bukan maksudnya ia beristalqâ’/ berbaring.
Akan dikatakan (dalam jawabannya): ucapan kalian bahwa tidak boleh dimaknai secara lahiriah itu adalah salah. Sebab kami telah terangkan bahwa kami tidak memaknainya sebagai sifat yang mustahil bagi sifat Allah. Akan tetapi ia berlaku separti sifat-sifat-Nya yang lain. ….. “ [9]
Abu Salafy berkata:
Riwayat palsu yang diterima mentah-mentah dan ditelan tanpa memikirkan konsekuansinya mengandung sederetan konsekuansi yang mustahil bagi Allah SWT. di antaranya bahwa Allah itu:
A)    terbatas dengan batasan. Kendati tidak sedikit tokoh sekte Hanbaliah menerima dengan tanpa akal keyakinan bahwa Allah itu terbatas oleh batasan-batasan.
B)    Allah berada di sebuah tempat tertentu.
C)    Allah itu berjisim dengan memiliki lebar, panjang dan tebal.
Karenanya sebagian ulama mazhab Asy’ariyah seperti Ibnu Faurak mena’wilkan riwayat itu dengan ta’wil yang telah Anda baca di atas, namun segera dihujat oleh tokoh-tokoh kaum Mujassimah seperti al Farrâ’ al Hanbali al Mujassim.
Pendekar Sunnah Kebanggaan Salafi-Wahhâbi; Syeikh Albâni Mulai Pusing!
Hadis palsu di atas juga diriwayatkan oleh adz Dzahabi dalam kitab al ‘Uluw Lil ‘Aliy al Ghaffâr[10] yang karena banyaknya hadis palsu di dalamnya, bangkitlah Pendekar Sunnah dari Padepokan negeri Syam; Syeikh Nâshiruddîn al Albâni untuk membersihkannnya dari hadis-hadis palsu tersebut. Ia menulis ringkasan kitab tersebut dengan judul Mukhtashar al ‘Uluw. Dalam kitab Silsilah al Ahâdîts ash Shahîhah-nya ia berkata, “dalam masalah ini al Hâfidz adz Dzahabi telah menulis kitabnya: al ‘Uluw Lil ‘Aliy al Ghaffâr dan aku dalam waktu dekat ini aku akan selesai meringkasnya dan menuliskan pengantar yang panjang lebar. Aku takhrij hadis-hadisnya dan aku sucikan dari hadis-hadis/akhbâr yang lemah/rapuh. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.”
Abu Salafy:
Apa yang ia banggakan bahwa telah membersihkan dan mensucikan kitab al ‘Uluw Lil ‘Aliy al Ghaffâr dari hadis-hadis lemah dan rapuh ternyata hanya khayalan dan anggapan belaka. Sebab ternyata Dengan hanya sekali berjalan saja di dalam lembaran-lembaran Mukhtashar yang ia tulis, kita akan tersandung dengan banyak hadis lemah dan bahkan palsu yang masih ia banggakan dan shahihkan. Di antaranya adalah hadis yang sedang menjadi tema pembicaraan kita kali ini yaitu hadis Istilqâ’. Pada hal 98 pada hadis dengan nomer:38 ia menshahihkannya berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim dengan menukil keterangan Ibnu Qayyim..Tetapi anehnya, dalam kitab Silsilah al Ahâdîts adh Dha’îfah.2/177 hadis nomer:775 ia menvonisnya sebagai hadis munkar. Di sini terlihat jelas bagaimana Pendekar Sunnah Kebanggan kaum Salafi Mujassimah ini sedang linglung dan kebingungan… Atau sikap seperti ini dalam kamus kaum Salafi (yang paling sempurna akal di antara sekalian alam) bukan tergolong kontradiksi/tanâqudh?
Karenanya, adalah sangat dikasihani kaum yang bersandar dan bertaqlid buta kepada kitab-kitab yang ditakhrij oleh Muhaddis Linglung yang “plenca-plence” seperti si Pendekar Sunnah dari Negeri Alban ini.
Dan kasus di atas bukan satu-satunya kasus kelinglungan Syeikh al Albâni. Masih banyak lainnya bahkan ratusan.
Penutup
Kendati keyakinan mereka itu sangat nyata kemujassimiannya, namun demikian mereka tetap saja mengelak disebut sebagai Mujassimah. Sebuah kedegilan atau entah apa itu namanya!

[1] Abu Ya’lâ al Farrâ’ al Hanbali adalah salah satu di antara tokoh yang getol membela akidah tajsim. Ibnu Al Arabi al Maliki dalam kitab al ‘Awâshim wa al Qawâshim::210 berkata menyebutkan kesesatan Al Farrâ’:
وأخبرني من أثق به من مشيختي أنّ القاضي أبا يعلى محمد الحسين الفراء الحنبلي رئيس الحنابلة ببغداد كان إذا ذكر الله تعالى يقول وما ورد من هذه الظواهر في صفـاته تعالى : ألزموني بما شئتم فإني ألتزمه إلا اللحية والعورة . وانتهى بهم القول إلى أن يقولوا إن أراد احد أن يعلم الله فلينظر إلى نفسه فانه الله بعينه إلا أن الله منزه عن الآفات
“Guru-guruku yang terpercaya telah mengabarkan kepadaku bahwa Qadhi Abu Ya’lâ Muhammad al Husain al Farrâ’ al Hanbali –pimpinan sekte Hanabilah di kota Baghdad- jika menyebut Allah –ta’ala- berkata, dan nash-nash yang secara zahir menunjukkan sifat-sifat Allah, ia berkata, “Paksalah aku menerima konsekuensi semuanya, terserah kalian, kecuali jenggot dan alat kelamin. Aku tidak mengatakan Allah memilikinya.” Sampai-sampai ia berpendapat bahwa barang siapa yang hendak menyaksikan Allah dengan kedua mata kepalanya maka hendaknya ia melihat dirinya sendiri, hanya saja Allah itu Maha Suci dari cacat.”
[2] Ibthâl at Ta’wîlât,1/188 dan 189 nomer.182. Kitab ini adalah kitab kebanggaan kaum Wahhabi dicetak serta disebar-luaskan dengan penuh semangat dengan menyakinkan kaum Muslim bahwa akidah yang termuat di dalamnya adalah mewakili akidah Islam yang murni. Seperti juga kitab as Sunnah karya al Khallâl, begitu mereka andalkan.
[3] As Sunnah; Ibnu Abi ‘Âshim, dengan tahqîq Syeikh al Albâni, 1/248 nomer 568. terbitan al Maktab al Islâmi. Beirut, tahun 1400 H/1980 M. cet. Pertama.
[4] Ibthâl at Ta’wîlât,1/188 dan 189 nomer.183.
[5] Daf’u Syubah at Tasybîh:102.
[6] Tafsir ath Thabari,5/7. Dâr al Fikr. Beirut.
[7] Musykilul Hadîts wa Bayânuhu; Ibnu Faurak: 42 cet. Dâr al Wa’y. Syria.
[8] Daf’u Syubah at Tasybîh, dengan tahqîh Sayyid hasan ibn Ali as Seqaf:169.cet. Dâr al Imam an Nawawi. Ummân/Yordania.
[9] Ibthâl at Ta’wîlât,1/189 dan 190.
[10] Kitab tersebut ia tulis di amasa awal pengembaraan intelektualnya, dan setelahnya ia banyak meralatnya dalam berbagai kktab karangannya. Tetepi anehnya, kaum Salafi-Wahhâbi Mujassimah tetap saja mengandalkan kitab karya adz Dzahabi yang satu ini. Memang benar dalam pepatah Arab: “Kecintaan/keganderunagn kepada sesuatu itu membutakan dan menulikan.” Kecintaan dan keganderungan kepada doktrin Tajsîm telah mebutakan dan menulikan banyak mata dan telinga.

Mazhab Wahhâbi Ditegakkan di Atas Akidah “Kaum Musyrik”!



Segala hal ditempuh bagi kaum Wahhâbi/Salafy, khusunya bagi para sukarelawan dan Misionaris mereka dalam menegakkan akidah andalan mazhab menyimpang mereka! Demi meyakinkan kaum awam, dalil harus ditegakkan… Tidak ada Qur’an dan Sunnah shahihan, ucapan para pendata Yahudi dan/atau pendapat kaum Musyrik pun jadi! Demikian kira-kira semangat da’wah yang mereka usung!
Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan  Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..
Termasuk di antara akidah nyeleneh lagi menyimpang kaum Wahhâbi/Salafy adalah keyakinan bahwa Allah itu bersemayam/duduk di atas Arsy-Nya…. Mereka memperkosa berbagai ayat Al Qur’an dan menelan mentah-mentah riwayat palsu beracun dan menjadikan ucapan belum pasti kebenaranya dari orang-orang yang mereka vonis kafir-musyrik yang telah menyimpang akidahnya dan keluar dari agama! Menjadikan semua itu sebagai pondasi keyakinan dan akidah sesat mereka!
Tapi, sekali lagi, anehnya kaum Musyrik yang biasanya mereka kecam itu kini disanjung bak seorang nabi pujaan dan ucapan mereka bagaikan wahyu langit yang terjaga!
Perhatikan, dalam masalah keyakinan Allah SWT itu beristiwâ’/duduk/bersemayam di atas Arsy-Nya dengan segala pernak-pernik masalahnya, kaum Wahhâbi (dengan tanpa malu) mencatut nama Imam Malik ibn Anas (imam besar Ahlusunnah)!Perhatikan bagaimana mereka mengandalkan ucapan Imam Malik di bawah ini:
.

الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

“Istiwâ’ sudah diketahui, kaif (cara/bentuk) tidak diketahui, beriman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Akan tetapi seperti kita ketahui bersama, bahwa kaum Wahhâbi/Salafy itu tidak segan-segan menghukum musyrik siapapun yang meyakini dibolehkannya bertawassul kepada para Nabi as., khususnya kepada Nabi Muhammad saw… sementara itu Imam Malik adalah di antara tokoh tergetol yang menegaskan disyari’atkannya bertawassul kepada Nabi Muhammad saw… bahkan lebih dari itu, beliau (rh) meyakini bahwa Nabi Adam as. Itu bertawassul kepada keagungan maqam baginda Rasulullah saw.
Jadi dengan demikian, Imam Malik itu adalah kafir-musyrik dalam pandangan kaum Wahhâbi!
Jika demikian lalu mengapa, kini di saat butuh kepada keterangan ulama Ahlusunnah (tentunya dengan tujuan mengelabui kaum awam) mereka membanggakan dan mengandalkan keterangan Imam Malik?!
Bukankah sikap seprti ini sebuah kecurangan dan penipuan?
Perhatikan keterangan Imam Malik tentang bertawassul di bawah ini:
Para ulama Islam meriwayatkan bahwa: Khalifah Manshûr al-Abbasi bertanya kepadaImam Malik (yang selalu dibanggakan keterangannya oleh kaum Salafiyah Wahhâbiyah dalam menetapkan akidah, khususnya tentang Tajsîm), “Wahai Abu Abdillah, apakah sebaiknya aku menghadap kiblat dan berdoa atau menghadap Rasulullah? Maka Imam Malik menjawab:
.

لِمَ تَصْرِفُ وجْهَكَ عنهُ و هو وسيلَتُكَ ووسيلَةُ أبيكَ آدَمَ إلى يومِ القيامَةِ؟! بل اسْتَقْبِلْهُ و اسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعَكَ اللهُ، قال الله تعالى:  و لو أنَّهُم إِذْ ظلَموا أنفُسَهُم

“Mengapa engkau memalingkan wajahmu darinya, sedangkan beliau adalah wasilahmu dan wasilah Adam ayahmu hingga hari kiamat?! Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafa’at darinya maka Allah akan memberimu syafa’at.“Sekiranya mereka ketika berbuat zalim terhadap diri mereka…. “ (Wafâ’ al Wafâ’, 2/1376)

Inilah hakikat kaum Wahhâbi! Jika mereka perlu, Imam Malik disanjung! Jika tidak perlu, Imam malik ditendang bahkan dikafirkan… sepetti juga ketika mereka memvonis sesat bahkan mengafirkan Imam Abu Hanifah!

Hukum Berdo’a dengan Tawassul



Hukum Berdo’a dengan Tawassul
Oleh: Dewan Asatidz
Pengertian Tawassul Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.
• Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
• Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
• Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo’a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.
Tawassul dengan amal sholeh kita
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal: 160)
Tawassul dengan orang sholeh
Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di depan Allah SWT. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : “Ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll”.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.
Dalil-Dalil Tentang Tawassul
Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:
A. Dalil dari al-Qur’an.
1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah : 35
ياأيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
2. Suat Al-Isra [17] : 57
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”
Maksudnya:
Nabi Isa a.s., para malaikat dan ‘Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik-baik.
Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12 : 97-98 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ya’qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya QS Yusuf [12] : 97-98
قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Nabi Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan “ayyuhum aqrabu”, yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.
3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan Nabi Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilah بِمَا عَهِدَ عِندَكَ Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah SWT. ada pada sisimu (kenabian).
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
“Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.
4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
B. Dalil dari hadis.
1. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW sebelum lahir sebagaimana Nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615)
“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?” Adam menjawab:”Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis “Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab: “Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”
Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Al-Mawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Al-Mawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ As-Saqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois An-Nubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih.
Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi:
فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad, demikian juga Syekh Islam Al-bulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Al-wafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180. Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.
2. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya. Diriwatyatkan oleh Imam Hakim:
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضريرفشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه الحاكم فى المستدرك)
Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat” Rasulullah berkata “Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata: “bacalah doa (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafa’at untukku dan berilah aku syafaat”. Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar”. (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib.
Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.
3. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW setelah meninggal. Diriwayatkan oleh Imam Addarimi:
عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)
Dari Aus bin Abdullah: “Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”, maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk” (Riwayat Imam Darimi)
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata: “Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui Nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan, lalu turunlah hujan.
4. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul.
عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).
Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murka-Mu dan karena mencari ridla-Mu, maka aku meminta-Mu agar Kau selamatkan dari neraka, agar kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diri-Mu”, maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya”. (Riwayat Ibnu Majad dll.).
Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma’qool, akan tetapi Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Al-afkar 1/272). Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98). Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu. Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyertakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.
Pandangan Ulama Madzhab Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:”Kalau aku berziarah ke kubur Nabi saw, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab: “Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat”. (Al-Syifa’ karangan Qadli ‘Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).
Demikian juga ketika Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab : “Syafii ibarat matahari bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita” (Syawahid al-Haq, Yusuf bin Ismail an-Nabhani: hal, 166)
(شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)
Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:
آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى
أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى
الصواعق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)
“Keluarga Nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad),
Aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku”
(Ash-Shawaiq al-Muhriqah Ahmad Ibn Hajar al-Makki, hal: 180)
Pandangan Imam Taqyuddin Assubky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)
Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:
أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه).
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya) “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan bertwassul kepada-MU melalui Nabi-Mu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya’faat”.
Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)
Pandangan Imam Syaukani
Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para shahabat.
Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab.
Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bid’ah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap Al-Bushoiri atas perkataannya “YA AKROMAL KHOLQI” dan membakar Dalailul Khoirot. Maka beliau membantah : “Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal 68)
Dalil-dalil Yang Melarang Tawassul
Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut, tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara, tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.
2. Surah al-Baqarah [2] : 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah SWT dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.
3. Surat Jin [72] : 18
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah. Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara.
Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.
Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak memberi dan menolak doa hamba-Nya.
Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan Hadist.
Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan.
Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid’ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid’ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat.
Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid’ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.
Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.
Wallahu a’lam bissowab
Penyusun:
Ustadz Agus Zainal Arifin, Hiroshima
Ustadz Muhammad Niam, Islamabad
Ustadz Ulin Niam Masruri, Islamabad

Minggu, 29 Juli 2012

Dalil Hadits : Sunnahnya Memakai Kopiah / peci /tutup kepala



Pemakaian Penutup kepala(kopiah)

BismillahirahmanirRahim
Nah-Ma`duhu Wanusolli-Mu`ala-Rasuulihil- Kareem..
Pemakaian Penutup kepala(kopiah)
Alhamdulillah,segala syukur kepada Allah S.W.T dan salam kepada jujungan kita,Muhammad S.A.W,yang memberi sinar cahaya kehidupan yang baru di atas muka bumi ini.Disini hamba yang lemah lagi fakir ini akhirnya dapat menyiapkan terjemahan dari bahasa urdu tentang penekanan pemakaian penutup kepala. Kepada semua Rakan-rakan seagamaku,baik semasa kecil,remaja dan dewasa ini,seta muslimin,muslimat sekalian dan orang yang mengucap kalimah syahadah,bangkitlah dengan hati ikhlas dan terbuka..dan buatlah usaha pada agama kesayangan ini yang sedang menuju kehancuran ini,yakni pengorbanan,diri,harta,masa untuk agama Allah S.W.T dan supaya ummah Nabi S.A.W dapat direalisasikan dan diwujudkan.Berjalan pada jalan yang benar dan iman akan mengikutinya.Ia mungkin menjadi ummah dan mengamalkan zikir,tasbihat,taklim,berjuang di jalan Allah,membuat membantu(khidmat) pada rakan seagama,bertimbang-rasa,menghormati dan memuliakan yang lain.Dan apabila pengorbanan dibuat,maka sifat-sifat kebatilan,keburukan dan penyakit hati akan dibuang sedikit demi sedikit dengan usaha ini.Apabila usaha ini diambil,walaupun dijalankan di satu kawasan sahaja di atas muka bumi ini,ia akan tersebar ke seluruh alam.Disini hamba berharap semoga para muslim yang membaca alih bahasa dari kitab ini dapat memeberi penekanan tentang pentingya pemakaian penutup kepala. walaubagaimanapun,disebabkan perkara yang ingin hamba sampaikan ini penting,hamba menulis..sesiapa yang faham dan bertindak padanya,Allah S.W.T akan membuatkan dirinya bersinar,atau..dia seolah-olah memotong kakinya sendiri..
Penekanan tentang pemakaian penutup kepala oleh di dalam linkungan Sunnah Nabi S.A.W dan yang dipraktikkan oleh Sahabat (R.Anhum) dan Tabieen.
1.“hazrat Ibnu Umar R.Anhu meriwayatkan bahawa Nabi S.A.W menggunakan penutup kepala berwarna putih.” (tabrani)
(Allama suyooti rah. telah menulis di dlm kitab Jamius Sagheer yang mana sanad Hadith ini ialah hassan.komentator kitab jamiu`s sagheer,Azzezi telah memahami penulisan Allama suyooti ramatullah alaih.)
(As-Sirajuul Muneer,jilid ke-4 mukasurat 112)
2. “telah dilaporkan bahawa dari Ibnu Umar R.Anhu bahawa Nabi S.A.W memakai penutup kepala berwarna putih.”(mujamul kabeer dari tabrani)
(terdapat kemusykilan kepada salah seorang perawi,Abdullah Ibnu Khirash,pada hadith ini.Ibnu Hibban telah menulis bahawa dia dipercayai tetapi mungkin ada juga belaku sedikit kesilapan.Muzakarah pada Muhaddith ialah bahawa beliau perawi hadith yang lemah manakala para perawi lain adalah boleh dipercayai.
(Majmud-Zawaaid Haisani jilid ke-2 mukasurat 124)
3.”telah dilaporkan bahawa dari Ibnu Umar bahawa Nabi S.A.W memakai penutup kepala berwarna putih.”
(ini ialah hadith lemah –tazkiratul maudu`aat-mukasurat 155)
(Tabrani telah melaporkan bahawa di dalam mujamal aw`sat daripada gurunya Muhammed Ibnu Haneefa Waasiti.Walaubagaimanapun ia didapati lemah)
(Majmud-Zawaaid Haisani jilid ke-2 mukasurat 124)
4.Abu Sheikh melaporkan dari Ibnu Abbas R.Anhu bahawa Nabi S.A.W mempunyai 3 penutup kepala sepanjang kehidupannya.
(Bajhul Majhood,jilid ke-6,mukasurat 52)
5”.di dalam “mukhtasar”,kehidupan Nabi S.A.W,terdapat 3 jenis penutup kepala yang didapati,petama ialah seperti rupa kopiah yang mana di dalamnya mempunyai garisan padanya.yang kedua ialah yang diperbuat daripada kain hibarah dan yang ketiga ialah penutup kepala yang menutupi telinga,yang mana selalunya Baginda memakainya di dalam safar (perjalanan dan semasa namaaz.”
6.”Hazrat Aisyah R.Anhu meriwayatkan bahawa Nabi S.A.W memakai penutup kepala berwarna putih yang mana berbentuk rata dan menutupi dan mengikuti bentuk kepalanya.”
(Ibnu Assakir melaporkan ini,walaubagaimanapun,sanad (rantaian perawi Hadith) ialah lemah)
(Faizuul-Kadeer,jilid ke-5,mukasurat 246)
7.”Nabi S.A.W telah berkata bahawa muhrim (orang di dalam ihram),janganlah memakai kurta,seluar,serban dan “burnus”(sejenis bentuk penutup kepala)(Baginda tidak akan memakai pakaian jenis ini pada masa itu).”
(Bukhari Shareef jilid 1,mukasurat 209,dan jilid ke-2 mukasurat 864)
*adalah diketahu bahawa orang dimasa itu pemakaian penutup kepala telah menjadi kebiasaan di zaman Nabi S.A.W.*
8.Riwayat oleh Ibnu Abbas telah diterangkan (rujuk no.29) yang mana subjek berkaitan,iaitu bahawa Nabi S.A.W akan memakai penutup kepala di dalam serbannya.
Dan ada masanya Baginda hanya memakai penutup kepala “
(Ibnu Assakir,meriwayatkan hadith ini,sanadnya lemah)
9.”Hazrat Aisyah R.Anhu meriwayatkan bahawa akan memakai penutup kepala yang akan menutupi sekali bahagian telinganya dan semasa berada di rumah,Baginda akan memakai yang kecil(seperti kopiah Syria)jenis penutup kepala.Abu Shaikh yang meriwayatkan Hadith ini.Iraaqi menulis bahawa hadith berkenaan tentang pemakaian penutup kepala pada hadith ini ialah yang paling sahih sumber dan dipercayai.”
(Faizuul-Qadeer jilid ke-5,mukasurat 246)
Hadith ini telah melepasi dibawah hadith yang dilampirkan disini bernombor 29)
10.”Abu Kabshaa Anmaan meriwayatkan bahawa penutup kepala dipakai oleh para Sahabat R.Anhum terkeluar dan rata.”
(Tirmizi,Hadith ini lemah,mukasurat 308)
Hazrat Gangohi R.Alaih menerangkan bahawa maksud perawi yang mana “kepala merka tertutup.penutup kepala itu tidak akan tercabut dari tetapi rata dan tertekan pada kepala.
(Alkaukabud Durrie jilid ke-2 ,mukasurat 452.)
Penekanan pemakaian penutup kepala oleh Sahabat R.Anhu dan Tabieen.
11.Zaid Ibnu Jubair mengatakan bahawa beliau nampak Abdullah Ibnu Zubair R.Anhu memakai penutup kepala.(di dalam pengucapan perkataan bahasa arab “burtula” muncul untuk merujuk kepada sejenis bentuk penutup kepala.
Hisham Bin Urwa juga mengatakan bahawa beliau nampak Ibnu Zubair (R.Anhu) memakai penutup kepala yang bahannya nipis.
12. Eesa Ibn Tahmaan mengatakan bahawa beliau nampak Anas Bin Malik (R.Anhu) memakai penutup kepala.Di dalam perkataan “burnus” dengan memebawa maksud penutup kepala yang panjang.
(di dalam Bukhari juga pemakaian tentang penutup kepala oleh Anas (R.Anhu) diterangkan di dalam jilid ke 2,mukasurat 863.)
13.Bapa kepada Ash`as melaporkan bahawa beliau nampak Abu Musa Ashaari (R.Anhu)
Keluar dati tandas.Abu Musa memakai penutup kepala.
14.Ismael mengatakan bahawa beliau Nampak Shuriah memakai penutup kepala.
15.Abu Shihaab mengatakan bahawa beliau Nampak Saeed Ibnu Jubair (R.Anhu)
Memakai penutup kepala
(kedua Shihaab dan Ibnu Jubair ialah tabiees)
Ali Ibn Hussain (i.e Hazrat Zainul Abideen),Ibrahem Nakhee dan Dahaak sering dilihat memakai penutup kepala.
(kesemua rawian ini telaj dilaporkan di dalam dengan sanadnya dalam Musannaf Ibn Abi Shaiba jilid ke-8 pada mukasurat 212,213,242)
Hazrat Ali (R.Anhu) telah dilihat memakai penutup kepala mesir berwarna putih.
(Tabaqaat Ibnu Saad urdu jilid ke-3 mukasurat 187)
Penekanan tentang pemakaian penutup kepala oleh Abu Ishaq Sabee Tabiee dijumpai di dalam Bukhari (Jilkid petama ,mukasurat 159)
Ibnu Ul –Arabi menulis “pemakaian penutup kepala telah diapakai oleh hamper kesemua Ambiyaa dan orang Alim.Ia melindungi kepaa dan membolehkan serban yang dipakai tetap di tempatnya,yang mana ia sunnah.penutup kepala seharusnya muat mengikut bentuk kepala dan tidak berupa seperti dome.ada juga orang yang membuat lubang pengudaraan pada penutup kepala untuk menyejukkan dan memberikan udara masuk pada kepala dan membolehkan udara panas keluar,dan ia adalah salah satu jenis rawatan kepala.(ia tidak dilakukan kecuali terpaksa)

Sabtu, 21 Juli 2012

imam ahmad memperbolehkan mengaji di atas kuburan


Imam Ahmad Ngaku Salah, Tapi Kaum Wahabi Tetap Ngotot

Stempel yang paling digemari kaum Wahabi, di manapun mereka tinggal adalah menuduh bid’ah bahkan syirik praktik-praktik ibadah atau tradisi-tradisi baik yang biasa dilakukan kebanyakan kaum Muslimin. Mereka menjadikan ketidaktauan mereka akan alasan yang mendasari praktik-praktik tersebut sebagai RUJUKAN UTAMA dalam vonis-vonis kaku mereka.
Salah satu kebaiasan baik kaum Muslimin sejak zaman dahulu yang mereka warisi berdasarkan dalil-dalil dari para leluhur dan para ulama adalah membacakan ayat-ayat suci Alqur’an di sisi  kuburan dengan niat pahala bacaan tersebut agar disampaikan Allah kepada si mayyit.
Kaum Wahabi yang ngaku-ngaku sebagai penjernih ajaran Islam dan pewaris sejati Islam dari para Salafush sholeh; para sahabat dan tabi’in, dan yang sukanyatut-nyatut nama Imam Ahmad bin Hanbalpaling getol memerangi praktik seperti itu yang mereka anggap sebagai bid’ah yang sesat. Salanya dulu waktu masih hidup malas ngaji! Kok enak sekarang mau dikirimi pahala bacaan Alqur’an! Lagipula, kalau sudah mati ya sudah.
Mulailah ayat-ayat tertentu Alqur’an mereka tafsirkan, seakan merekalah pewaris dan mandataris Alqura’n, dan seakan Allah hanya menyerahkan kepada mereka untuk menafsirkan Kalam suci-Nya!
Tetapi kenyataannya Imam Ahmad tidak seperti itu.  Coba perhatikan apa yang ditulis oleh Representatif kaum Wahabi; Ibnu al Qayyim al Jawziah dalam kitab ar Rûh-nya:13:
Khallâl berkata, “Hasan bin Ahmad al Fizari mengabarkan kepadaku, Ali bin Musa Al Hadad bertutur kepadaku- dan ia adalah orang yang jujur, shadûq-, ‘Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al Jawhari melayat jenazah, seusai dikebumikan, ada seorang buta duduk di sisi kuburan sambil membaca Alqur’an, maka Ahmad berkata kepadanya, ‘Hai Anda, ketahuilah bahwa membaca Alqur’an itu bid’ah!’
Ketika kami keluar dari pekuburan, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, ‘Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir al Halabi? Ia menjawab, ‘Ia tsiqah (terpercaya dalam membawakan hadis), ia berkata, ‘Apakah Anda meriwayatkan sesuatu darinya?’ Ya, jawab Ahmad.
Maka Muhammad berkata, ‘Mubasysyir mengabarkan kepadaku dari Abdurrahman bin al Alâ’ bin al Lajlâj dari ayahnya bahwa ia berwasiat agar jika kelak ia dikuburkan agar ada yang membacakan pembukaan dan penutuopan surah al Baqarah di sisi kepalanya. Dan ia berkata, bahwa Ibnu Umar juga berwasiat demikian.’
Maka segera Ahmad memerintahkannya agar kembali dan mengatakan kepada orang yang ia tegur itu agar kembali membaca Alqur’an lagi.
Abu Salafy berkata: Sungguh luar biasa kejujuran dan kebesaran sikap Imam Ahmad ra. Kendati, tadinya ia menghukumi perbuatan orang itu yang membaca Alqur’an di sisi kuburan sebagai praktik bid’ah, tetapi segera setelah ia mengetahui bahwa praktik itu telah diriwayatkan juga dari para ulama terpercaya dan juga dari Ibnu Umar, ia segera mencabut fatwanya dengan penuh ketundukan dan tanpa rasa congkak.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa memang demikianlah sikap yang harus ditempuh oleh para ulama. Siap mengaku salah ketika salah dan tidak angkuh mereima teguran. Sebab siapa sih yang tau segala-galanya?!
Selain itu, juga dapat disimpulkan  kalau orang sekaliber Imam Ahmad aja ndak tau hadis tentang masalah tersebut, sehingga ditegur temannya, lalu apa kita yang ingusan ini sok tau segala-galanya dan main tuduh sana bid’ah, tuduh sini syirik, kafir dll.
Kalau demikian kenyataannya, jadi kira-kira kaum Wahabi ini ikut siapa ya? Nagkunya ikut Imam Ahmad. Ee ternyata Imam Ahmad ndak begitu! Ngaku ikut Salaf dan Sahabat, ternyata sahabatnya juga ndak begitu!  Tapi nagkunya ngikut Salaf dan membanggakan diri dengan nama kami “Kaum Salafiyah”Ngecap!
Jangan-jangan memang Kaum Wahabi itu bukan pengikut siapa-siapa, bukan Ahmad bin Hanbal, bukan sahabat Nabi saw. mereka adalah pengikut diri sendiri dan bayang-bayang kebenaran!
Harapan saya, para senior Wahabi di tanah tandus Najd sana, mbok mau meniru Imam mereka Ahmad bin Hanbal.
Untuk Anda yang kerasukan virus Wahabisme/ Salafysme hendaknya mengakaji ulang doktrin-doktrin Anda. Siapa tau Anda ternyata di jalan yang salah. Ngak ada salahnya kok belajar itu.

Selasa, 17 Juli 2012

KENDURI ARWAH BUKAN BID’AH DHALALAH BAHKAN SUNNAH NABI S.A.W




Ketahuilah kamu bahawa kenduri arwah itu bermakna sadaqah dan berdo’a kepada orang-orang yang telah mati. Maka memang sampai kepada simati itu.Dalilnya firman Allah :

والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
Ertinya : dan segala orang yang datang mereka itu kemudian dari mereka itu berkata mereka itu hai tuhan kami ..ampunilah kami oleh mu bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang mereka itu telah mendahului akan kami dengan iman.
Hadith:
ان رجلا قال للنبي صعلم ان امي أقتلتت نفسها وأراها لو تكلمت تصدقت فهل لها من اجر ان تصدقت عنها قال نعم رواه البخاري ومسلم عن عائشة رضي الله عنها
Ertinya:bahawa seorang lelaki berkata ia bagi Nabi s.a.w bahawa ibuku dimatikan terkejut dirinya dan dilihatkan daku akandia jikalau berkata-kata niscaya bersedekah ia.Maka adakah baginya pahala(balasan) jika aku sedakah daripadanya ? Sabda Nabi s.a.w na’am (ia).
Hadith :
اذا مات الأنسان انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له رواه مسلم عن ابي هريرة
Ertinya: apabila mati oleh maknusia muslim nescaya terputuslah amalannya melainkan daripada tiga perkara, sedakah jariyah , ilmu yang memberi menafa’at dengan dia , atau anak yang saleh yang mendo’a baginya.
(Kitab ini telah ditashih oleh 3 orang tokoh ulama tanah air 1-Sheikh Abdullah Fahim 2-Sheikh Haji Ahmad Tuan Husin Pokok Sena 3-Tuan Guru Haji Abd Rahman bin Haji Abdullah Merbuk Kedah )

KENDURI ARWAH ADALAH IBADAH YANG SUNNAH



Kitab yang berjodol al-Syams al-tali’ah li naskh al-kawakib al-naiyyirah adalah kitab yang telah dikarang oleh Sheikh Haji Wan Ali bin Hj Wan Ya’qub al-Jambawi al-Sulati yang berasal dari Fatani.Beliau adalah seorang lepasan dari Madrasah Sulatiyyah di Makkah al-Mukarramah.
Didalam kitab ini beliau telah menulis penjelasan tentang “ KENDURI ARWAH” sebagai menjawab tuduhan liar oleh Hj Abdullah Bendang Kebun Fatani(Kaum Muda/ Wahabi) didalam kitabnya yang berjodol “ al-kawakib al-naiyyiraat “.
Beliau terundang menulis risalah ini , bila mana Hj Abdullah Bendang Kebun(Kaum Muda /Wahabi) menyebutkan amalan kenduri arwah sebagai amalan bid’ah yang sesat.
Didalam kitab ini beliau telah memasukkan juga surat yang dikirim oleh Pak De ‘Il ( Sheikh Ismail ) Ma’la dan Sheikh Abd Qadir al-Mandili dari Makkah kepadaTuan Guru Hj Abd Wahhab Pondok Bekalan Enam Fatani yang menjelaskan tentang amalan kenduri arwah adalah amalan yang baik dan bersandarkan nas-nas yang jelas.
Golongan yang membid’ahkan amalan kenduri arwah bukanlah cerita baru , akan tetapi kalau diselidiki ternyata adalah penyakit lama yang tumbuh semula bila masyarakat mula kosong dari ilmu agama.
Awas Wahab-wahab..jangan celupar mulut..binasa dunia akhirat….

MEMBACA AL-QURAN MENDATANG FAEDAH KEPADA ORANG YANG MATI DISISI SYAFI’EYYAH


Berkata al-Hasan al-Sabah al-Za’farani , aku bertanya dengan Imam Shafei r.a tentang bacaan Quran di kubur , maka beliau telah menjawab maka tiada mengapa.
Berkata Imam Nawawi r.a didalam kitab minhaj menyatakan , bagi mereka yang menziarahi kubur boleh la memberi salam dan berdoa’…
Al-Khatib al-Syarbini didalam al-iqna’ menyatakan sunat bagi mereka yang berziarah kubur memberi salam , dengan berdepan arah janazah sambil mengucapkan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi s.a.w kepada para sahabatnya bila mana mereka bergegas ke perkuburan dengan ucapan :
السلام على اهل الدار من المؤمنين و المسلمين و انا انشأ الله بكم لاحقون
(رواهما مسلم )
Telah menambah Abu Daud : اللهم لا تحرمنا اجرهم ولا تفتنا بعدهم
(Dengan sanad yang agak lemah)
Dan perkataannya ان شأ الله untuk tabarruk(mengambil barakah) dibacakan di sisi janazah bacaan al-Quran , sesungguhnya rahmat akan turun ditempat dibacakan ( bacaan al-Quran).
Orang yang telah mati adalah sama seperti orang yang datang kerana mengharapkan rahmat .maka dibacakan doa’ mengiringi bacaan al-Quran , kerana doa’ memberi faedah kepada simati dan doa’ yang mengiringi bacaan al-Quran adalah terlebih ijabah(diterima).
Serta bagi mereka yang menziarahi kubur hendaklah menghampirkan diri dengan kubur , seperti mereka mendekatinya sewaktu hidup kerana ihtiram (hormat) bagi simati.
Berkata Imam Nawawi r.a , sunat banyak menziarahi kubur dan ziarah kepada kubur orang-orang yang baik-baik dan mempunyai kelebihan. (dari kaum salihin.)
http://al-subki.blogspot.com/

Fatwa Tahlil Ibnu Taimiyyah

Syaikh Ibnu Taimiyyah, ulama yang menjadi rujukan pertama dan utama geng-geng pengaku salafi yang hidup di zaman khalaf, sebenarnya tidaklah seekstrim puak-puak pelampau kat tempat kita dalam memerangi amalan bertahlil yang dilakukan oleh masyarakat kita. Aneh dan pelik, kerana dalam menentang amalan bertahlil atau itsal ats-tsawab, maka mereka akan mengutarakan qaul yang dinisbahkan kepada Imam asy-Syafi`i mengenainya. Malangnya mereka sendiri gagal memahami untuk kedudukan qawl tersebut dan maksud yang dikehendaki oleh Imam asy-Syafi`i. Maka mereka telah memahami qaul tersebut menurut tafsiran mereka sendiri yang bercanggah dengan pegangan para ulama yang menjadi pendokong mazhab yang agung tersebut. Perkara ini sama seperti kegagalan mereka untuk memahami kalimah “ma’tam” yang disebut oleh Imam asy-Syafi`i sehingga mereka menyamakan ma’tam dengan kenduri arwah. Allahu … Allah……..sungguh perbedaan antara ma’tam dengan kenduri arwah yang diamalkan umat Islam sekarang adalah umpama langit dengan bumi. Ma’tam itu tradisi kaum jahiliyyah, sedangkan kenduri arwah itu dipelopori oleh kaum yang mentauhidkan Allah, maka janganlah disamakan. Insya-Allah, nanti jika diizinkan Yang Maha Esa, kita boleh bicarakan mengenai kedudukan qawl yang dinisbahkan kepada Imam asy-Syafi`i tersebut dan perbicaraan ulama pendokong mazhab beliau mengenai kedudukan dan ihtimalat terhadap qawl tersebut.Puak-puak anti-tahlil, walaupun terkenal taksub dan menjunjung tinggi Syaikh Ibnu Taimiyyah, tetapi dalam persoalan tahlil tidak menjadikan perkataannya sebagai panduan. Ini adalah kerana Ibnu Taimiyyah juga muridnya Ibnu Qayyim adalah termasuk ulama yang berfatwa bahawa pahala bacaan al-Quran, pahala amalan, pahala tahlil dapat dihadiahkan kepada arwah mereka-mereka yang telah meninggal dunia. Dalam himpunan fatwa yang dinisbahkan kepada Syaikh Ibnu Taimiyyah dinyatakan sebagai berikut:-
Dan ditanyai (Ibnu Taimiyyah) mengenai (hadits): “bertahlil 70,000 kali dan dijadikan hadiah (pahalanya) kepada orang mati, agar menjadi kelepasan bagi si mati dari api neraka”, adakah hadits tersebut shohih atau tidak? Dan apabila bertahlil seseorang dan dihadiahkan (pahalanya) kepada orang mati adakah pahalanya sampai kepada si mati atau tidak?
Maka dijawab (oleh Ibnu Taimiyyah):- Apabila bertahlil seseorang dengan yang sedemikian 70,000 atau kurang atau lebih dan dihadiahkan kepada si mati, Allah menjadikannya bermanfaat baginya dengan yang sedemikian itu. Dan hadits tersebut tidaklah shohih dan tidak juga dhoif (yakni tidak tsabit kedudukan hadits tersebut di sisi Ibnu Taimiyyah). Allahlah yang Maha Mengetahui.
Allahu … Allah, lihat ya ikhwah, bagaimana Ibnu Taimiyyah memfatwakan tahlil buat orang mati akan bermanfaat baginya. Jadi kenapa orang yang mengaku Ibnu Taimiyyah sebagai ulama besar mereka, panutan mereka, menjadi umpama “lebih sudu dari kuah” sehingga tidak dapat bertasamuh dengan kelompok majoriti yang mengamalkan amalan “itsal ats-tsawab” dengan bertahlil dan sebagainya. Kalau kamu tak emboh nak bertahlil, itu hak kamu, tapi jangan pula nak menceroboh hak kami untuk bertahlil, sampai tak sampai itu urusan Allah, bukan urusan kita. ***********************************

Berzikir di kuburan

Antara kebiasaan masyarakat kita, selesai pengkebumian jenazah, maka diadakanlah bacaan talqin yang dihukumkan sunnat oleh ulama Syafi`iyyah. Biasanya talqin akan dilanjutkan dengan pembacaan doa tatsbit memohon agar si mati ditetapkan imannya sewaktu menghadapi soal Munkar dan Nakir. Akhir sekali dibacakanlah tahlil yang kandungannya ialah bacaan ayat-ayat suci al-Quran, tasbih, takbir, tahlil, istighfar, sholawat dan disudahi dengan doa wahbah bagi si mati khususnya dan sekalian muslimin umumnya. Zaman berzaman, inilah amalan ulama dan awam masyarakat kita apabila mengkebumikan jenazah.
Namun kini, timbul golongan yang suka menang sendiri, yang tidak memahami dan menghormati perbezaan pendapat dalam perkara-perkara khilaf, maka mereka ini bersungguh-sungguh berjuang untuk menghapuskan amalan yang telah sekian lama diamalkan ini atas slogan membasmi bid`ah dan sebagainya. Maka ditohmahkanlah bahawa segala amalan yang telah menjadi tradisi masyarakat kita, yang dilaksanakan oleh segenap peringkat, ulama maupun awam, sebagai tidak punya asal dan sandaran pada syarak. Allahu … Allah, sedangkan jika diteliti, amalan-amalan tersebut punya sandaran dan asalnya pada syarak.
Imam Ahmad dalam musnadnya yang masyhur telah meriwayatkan satu hadits daripada Sayyidina Jaabir bin ‘Abdullah r.’anhuma bahawa ketika Sayyidina Sa`ad bin Mu`adz r.a. meninggal dunia, beliau dan Junjungan Nabi s.a.w. telah pergi menziarahinya. Ketika jenazah selesai disembahyangkan, dikubur dan diratakan kuburnya, Junjungan Nabi s.a.w. bertasbih dan diikuti oleh para sahabat baginda dalam masa yang agak lama, kemudian baginda bertakbir lalu para sahabat turut bertakbir. Setelah selesai daripada berzikir, Junjungan Nabi s.a.w. ditanyai oleh para sahabat: “Kenapa engkau bertasbih kemudian bertakbir?” Junjungan Nabi s.a.w. menjawabnya: “Telah menyempit atas hamba yang sholih ini akan kuburnya sehingga dilapangkan Allah baginya.”
Allahu … Allah, Junjungan Nabi s.a.w. berzikir kerana menyempitnya kubur tersebut sehinggalah dengan rahmat Allah kubur tersebut diluaskan bagi penghuninya. Hadits di atas juga turut dinukilkan oleh Imam al-Husain bin Mas`ud al-Baghawi dalam “Misykaatul Mashoobiih” dalam bab “ itsbaat ‘adzaab al-qabr “. Jadi sabitlah nas yang Junjungan Nabi s.a.w. dan para sahabat pernah berzikir di sisi kubur selesai pengkebumian. Jika pun hadits tersebut dihukumkan “dhaif”, maka di sisi mazhab jumhur ulama, hadits dhaif adalah hujjah dalam perkara-perkara fadhail. Dan tidaklah tertentu ucapan zikir tersebut dengan hanya tasbih dan takbir, kerana tidak warid ada tegahan untuk menambah zikir-zikir seumpama tahlil, sholawat dan sebagainya. Junjungan Nabi s.a.w. diberitakan dalam khabar yang shohih sebagai berwudhu` dengan satu cupak air dan mandi janabah dengan menggunakan kadar segantang ke 5 mud air, maka jika seseorang berwudhu atau mandi dengan menggunakan lebih dari kadar yang digunakan oleh Junjungan Nabi s.a.w., maka adakah itu satu kesalahan?? Siapa sekarang yang berwudhu dengan secupak dan mandi dengan segantang ?

Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburan

Posted on October 23, 2009 by salafytobat | Edit
Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburan

Kitab ar-ruh :
Teks Arab Kitab Arruh Ibnu qayyim pada halaman 5 (kitab digital) :
وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك   وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث   قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ
وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها   وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Membaca Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)
Tarjamahannnya :
Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.
Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.
Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.
Berkata Al- Hasan  bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !
Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.
Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.
Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !
Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.
(Tarjamah Kitab Ar-ruh  Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , Ustaz Syed Ahmad Semait, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1990, halaman 17 – 19)